Jakarta, TAMBANG – Lembaga Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mendesak pemerintah investigasi mendalam, mencari tahu penyebab utama dan yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa kebakaran sumur Migas di Aceh Timur pada 25 April lalu.
“upaya tanggap darurat terhadap korban dan masyarakat terdampak masih jadi prioritas. Terhadap aktivitas penambangan liar baik di migas maupun tambang, kuncinya adalah pengawasan dan penegakan hukum yang tegas, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum lainnya,” kata Pengkampanye PWYP, Asri Nuaraeni, dalam keterangan resminya, Senin (30/4).
Sebagaimana disampaikan oleh pihak Pertamina EP, persoalan pengeboran ilegal di sumur tua ini tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga terjadi wilayah Indonesia lainnya, seperti di Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sementara itu, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh, Askhalani menyampaikan, insiden di Aceh Timur ini bukanlah kejadian pertama kali. Pengeboran sumur minyak ilegal ini marak sejak 2006, dan tersebar di tiga Kabupaten yaitu Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Bireun. Askhalani menduga, maraknya aktivitas ilegal ini karena ada upaya pembiaran yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang.
“Menimpakan kesalahan hanya kepada para pekerja di pengeboran minyak ilegal adalah tidak tepat. Ada pejabat dan aparat penegak hukum yang melakukan pembiaran. Ada pengusaha, broker atau penadah yang menikmati dari hasil pengeboran sumur-sumur tua tersebut. Penegakan hukum tidak boleh tebang pilih,” jelas Askhalani.
“Apalagi masyarakat setempat sudah menganggap aktivitas pengeboran sebagai sumber mata pencaharian. Kami melihat tidak ada upaya, baik dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, untuk mencari alternatif mata pencaharian lain bagi masyarakat untuk mencegah aktivitas pengeboran sumur-sumur minyak ilegal. Seharusnya, Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) sudah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kegiatan pengeboran miyak rakyat, terlepas dari legal ataupun ilegal, mengingat aktivitas tersebut merupakan kegiatan hulu migas,” imbuh Askhalani.
Terhadap wacana pelegalan pengeboran minyak oleh masyarakat, Askhalani mengingatkan untuk benar-benar memperhatikan banyak aspek.
“Melegalkan bukan berarti sekedar memberikan izin, namun berarti juga bagaimana mengendalikan setiap dampaknya. Pertanyaannya, apakah pemerintahan Aceh dan Pemerintah Pusat sudah siap untuk membina dan mengawasinya? Termasuk memberikan pengatahuan dan meningkatkan kapasitas masyarakatnya. Jangan sampai membuka jalan legalisasi pengeboran minyak rakyat ini justru menambah masalah.”
Yesi Maryam, Outreach Officer Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan, meskipun sudah ada Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua sebagai payung hukum pengelolaan sumur-sumur tua di Indonesia, namun regulasi tersebut masih dirasa belum cukup komprehensif.
“Misalnya, soal bagaimana definisi sumur tua, metode pengelolaan sumur tua, kearifan lokal, safe guard, ruang lingkup, pembinaan dan pengawasan. Regulasi ini masih lebih fokus pada aspek pengelolaan dan pengusahaan minyak di sumur tua, namun tidak rinci mengatur aspek keamanan lingkungan dan sosial.”
Yesi menambahkan, Aceh memiliki Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yang salah satunya terkait kewenangan pengelolaan migas di Aceh. Dalam konteks pengeboran minyak sumur tua misalnya, bagaimana koordinasi antara Kementerian ESDM, Dinas ESDM, SKK Migas dan BPMA dan siapa yang bertanggungjawab untuk apa.
“Termasuk bicara soal pengelolaan sumur tua melalui Koperasi Unit Desa (KUD) atau BUMD, bagaimana pengawasan dan pembinaannya,” pungkas Yesi.
Seperti diketahui, insiden kebakaran sumur migas di Desa Pasir Putih, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, yang mengakibatkan korban 21 orang meninggal dan 40 orang lainnya.
Insiden ini bermula dari ledakan yang terjadi pada (25/4) dini hari pada aktivitas pengeboran sumur minyak tua yang memicu kebakaran besar.
Pengeboran sumur minyak tersebut diduga merupakan aktivitas liar yang berlokasi di konsesi wilayah PT Aceh Timur Kawai Energi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengoperasikan blok migas Rantau Peureulak bekerjasama dengan Pertamina EP.