Jakarta-TAMBANG.PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, memproyeksikan rasio cadangan migas atau reserve replacement ratio (RRR) tumbuh 200–400% per tahun untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Meski demikian penurunan produksi alamiah (decline) dan anjloknya harga minyak dunia menjadi tantangan terbesar Pertamina saat ini.
Bambang Manumayoso, Ketua Tim Tata Kelola (Tranformasi) Upstream Pertamina, mengatakan berbagai upaya dilakukan, tidak hanya bisa bertahan saat ini, namun juga bagaimana tetap bisa bertumbuh ke depannya. Hal ini dilakukan karena Pertamina secara korporasi merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang harus mengamankan energi nasional.
“Secara korporasi Pertamina adalah Indonesian Flag Carrier. Pertamina yang menurut undang-undang, satu-satunya yang harus men-secure energi nasional, baik migas maupun geothermal,”kata Bambang di Jakarta, Selasa (16/8).
Menurut dia, upaya yang dilakukan Pertamina saat ini adalah menahan penurunan produksi dengan menggunakan teknologi tepat guna. Selain itu, Pertamina juga harus terus melakukan eksplorasi. Karena tanpa itu, tidak akan mampu menggantikan maupun menambah cadangan yang sudah diproduksikan.
“Strategi Direktorat Hulu secara korporasi sudah sangat jelas, bahwa bagaimana caranya produksi migas Hulu harus bisa naik, dan reserve replacement ratio (RRR) juga harus naik sehingga reserves yang sudah diproduksikan harus diganti dengan reserves baru yang lebih tinggi, sehingga perusahaan bisa lebih panjang hidupnya, untuk itu kami sebagai salah satu Anak Perusahaan Hulu bertekat untuk mengejar target tersebut,” kata Bambang yang juga Direktur Pengembangan PT Pertamina Hulu Energi.
Pertamina memproyeksikan pertumbuhan produksi migas 8% per tahun sepanjang 2015-2030. Pada periode 2010- 2015, performance produksi migas perseroan rata-rata tumbuh 6% per tahun dengan cadangan migas rata-rata meningkat 4,4% per tahun.
Bambang mengatakan dampak yang rasional dari penurunan harga minyak ada pada biaya produksi per barel, karena belanja modal dan operasional tinggi, hingga produksi menjadi turun. Jika pada Agustus 2014, harga minyak masih sekitar US$70 per barel, pada Februari 2016 harga anjlok hingga mencapai US$26- US$27 per barel.
“Pertamina memiliki tantangan besar. Namun dengan berbagai upaya yang dilakukan Pertamina tetap bisa survive, meski keuntungan yang diperoleh juga menurun,” kata dia.
Untuk itu, lanjut Bambang, yang dilakukan Pertamina Hulu adalah mengubah paradigma lama dengan yang baru, yaitu yang sebelumnya lebih cenderung ke Production at any Cost, sekarang menjadi Creating More Values (Production dan Value of Investment) dari semua asetnya.
Saat ini, paradigma bisnis model upstream baru Pertamina terus digencarkan. Secara operasional seperti apa misalnya, Improve Performance baik dari sisi Volume maupun Value, OptimasiInvestasi (Capex), melakukan action untuk Growth (terutama Business Portfolio), implementasi Operasional Excellent pada setiap High impact Project, Pembenahan berkelanjutan untuk Business process dan people Development.
Efisiensi dan rasionalisasi program juga terus dilakukan, dengan menurunkan cost perbarel. Jika dulu beberapa asset dengan operating cost-nya diatas US$30 per barel, sekarang bisa ditekan dibawah US$20 per barel. “Rata-rata sudah turun semua. Dari segitu banyak bisa kami turunkan. Jadi biaya-biaya operasioanal dikurangi,” kata dia.
Dirgo D Purbo, analis ketahanan energi dan pengajar pada Lemhanas, mengatakan langkah-langkah strategis yang sudah dan akan dilakukan Pertamina sudah on the right track, antara lain efisiensi, peningkatan cadangan terbukti dan juga kapasitas produksi migas yang dilakukan di dalam negeri.
“Tantangan yang paling mendasar yakni kekuatan modal untuk melakukan eksplorasi karena kegiatan ini selalu berkaitan dengan kalkulasi faktor geopolitik dan geoekonomi pada lokasi sumber energi, terutama yang berada di luar wilayah penuh dengan konflik,” katanya.
Menurut Dirgo, langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga energi nasional adalah dengan tidak memecah-mecah satuan unit busines, pemahaman vertical integration dengan menguasai mulai upstream sampai down stream.
Kurtubi, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan Pertamina seharusnya bisa melakukan yang lebih baik, bahkan bisa melampaui Petronas, Malaysia dengan terus meningkatkan pendapatan dan nilai asetnya.
“Kondisi ini bukanlah kesalahan Pertamina, tapi UU yang ada di Indonesia yang tidak mendukung. Ini membuat Pertamina sebagai perusahaan negara justru memiliki posisi yang sama dengan KKKS lainnya,” ungkap Kurtubi.
Selain itu, lanjut dia, Pertamina jangan terlalu banyak diganggu oleh berbagai kepentingan. Pertamina juga harus didorong untuk bisa melakukan kegiatan-kegiatan pengeboran dan eksplorasi, baik hulu ataupun pengolahan kilang sesuai keinginan sendiri. “Lalu paradigma bisnis Pertamina juga saya rasa harus diubah. Pertamina sudah saatnya memiliki aset dan infrastruktur sendiri, misalnya di kilang, lalu kurangi impor. Itu harus dilakukan,”katanya. (***)