Jakarta, TAMBANG – Pengusaha dan eksportir batu bara meminta kejelasan pemerintah dalam pemberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)) Nomor 82 Tahun 2017, tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu. Pasalnya, kini tidak bisa melakukan ekspor karena aturan yang belum jelas.
CEO PT Arutmin Indonesia, Ido Hutabarat, mengatakan, saat ini, pengusaha sedang menunggu pengumuman resmi pemerintah terkait diberlakukan atau tidaknya beleid tersebut. Pasalnya, dampak dari ketidakpastian ini menyebabkan beberapa pengusaha menunda pengiriman batu bara.
“Belum ada notifikasi resmi dari pemerintah. Pembeli nanya semuanya. Kita sudah loading kapalnya, tapi enggak bisa berangkat kan susah,” kata CEO PT Arutmin Indonesia, Ido Hutabarat kepada tambang.co.id, Selasa (3/4).
Ido berpendapat, beleid tersebut memang punya semangat yang positif, tapi pemberlakuannya tidak mudah dan butuh waktu yang cukup lama. Sebab Diperlukan persiapan yang matang.
“Dia harus kuat kapalnya, modalnya, marketingnya, punya kantor di luar negeri. Feeling saya, sampai dia bisa bersaing, butuh waktu lima sampai sepuluh tahun. Kalau dua tahun itu baru merangkak dulu lah, belum bisa 100 persen,” papar Ido.
Beleid yang awalnya akan diberlakukan pada 1 Mei 2018 itu, juga memuat dorongan eksportir agar bisa mengubah kontrak dari skema Free On Board (FOB) menjadi skema Cost, Insurance, and Freight (CIF) atau Cost and Freight (CNF).
Skema FOB dinilai lebih menguntungkan negara lain, sebab pihak pembeli dalam konteks ekspor, bebas menentukan kapal yang digunakan untuk mengirim.
Sementara dengan skema CIF atau CNF, penjual atau eksportir dalam negeri memiliki hak menentukan jasa angkutan yang akan digunakan.
“Mereka (negara lain) juga mengontrol, seperti pembeli-pembeli besar di Jepang, mereka juga mengontrol kapal supaya mereka bisa mengirim kapal ke mana mereka butuhkan. Kalau (FOB) dari kita yang mengatur. (Tapi) Sedikit yang menerapkan CIF, Arutmin sendiri FOB. KPC (Kaltim Prima Coal) juga FOB, dan yang lainnya FOB sebagian besar ” jelas Ido.
Hal senda diungkapkan juga oleh Direktur Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia. Menurutnya, beberapa anggotanya ada yang kontraknya tertahan lantaran belum ada informasi resmi tersebut.
“Ada beberapa kontrak yang mereka masih hold, yang sudah eksisting tentunya masih berjalan. Ya paling tidak untuk mengusulkan kapal yang mau shipment itu paling dua bulan, paling cepat satu bulan. Jadi sudah ditunggu-tunggu sih. Sudah banyak buyers yang bertanya-tanya kapan,”
Di samping itu, Hendra menilai, tarik ulur aturan shipping ini terjadi karena pemerintah belum menyiapkan data yang lengkap. Semestinya, sebelum aturan dibuat, pemerintah sudah mengantongi data-data lapangan.
“Dalam pembahasan awal di tim pelaksana, baru kita ketahui data-data yang diperlukan tidak mencukupi. Misalnya jumlah kapalnya, berapa yang berbendera Indonesia, terus ke mana saja tujuan ekspornya. Itu sama sekali bisa dikatakan belum ada. Kemudian kapal nasionalnya jumlahnya berapa. Itu yang seharusnya disiapkan sebelum aturannya dibuat,” tegas Hendra.
Lebih lanjut, Hendra menyinggung presentase data yang ada di Kemendag, “Data Kemendag yang dikompilasi surveyor itu kurang dari 2 persen, itu data sementara di 2017. Mungkin 2 persen lah karena data belum semua masuk, (itu) kapal nasional aja. Kebanyakan 80 persen bentuknya tongkang, 10 vessel, sisanya 60 tongkang itu pun melayani ekspor ke negara tetangga,” pungkas Hendra.