Beranda Tambang Today Transfer Kuota Batu Bara Tersendat Mekanisme Harga

Transfer Kuota Batu Bara Tersendat Mekanisme Harga

Jakarta, TAMBANG – Menjelang penghabisan akhir tahun 2018, implementasi kewajiban pasok batu bara dalam negeri belum berjalan mulus. Sisi teknis terkait transfer kuota Domestic Market Obligation (DMO) itu, masih tersendat karena mekanisme harga.

 

Hal ini dialami oleh PT Mitrabara Adiperdana. Emiten berkode saham MBAP ini dikabarkan belum berhasil melakukan transaksi transfer kuota hingga hari ini.

 

“Untuk transfer kuota kita masih menunggu keputusan Dirjen ESDM mengenai mekanismenya,” kata Sekretaris Perusahaan MBAP, Chandra Lautan kepada tambang.co.id, Senin (22/10).

 

Sebelumnya, tambang.co.id pernah memberitakan, Selasa (22/5), MBAP sangat membutuhkan transfer kuota untuk memenuhi kewajiban DMO yang dipatok mencapai 25 persen dari volume produksi. Dilaporkan, MBAP hanya sanggup menunaikan DMO sekitar 15 persen hingga akhir tahun. Sementara untuk mengejar sampai batas wajib 25 persen, MBAP menggantungkan diri pada mekanisme transfer kuota.

 

“Mungkin gak akan banyak juga yang terserap ke (domestik) sana paling 10-15 persen. Untuk domestik ini, kita akan berkoordinasi dengan grup. Kita secara grup banyak melakukan penjualan domestik dari tambang-tambang kita,” ujar Direktur Utama MBAP, Widada kala itu.

 

Nampaknya, MBAP tidak terlalu kesulitan untuk mencari perusahaan mana yang bersedia menjual kelebihan kuota DMO. Anak usaha Baramulti Group ini yakin akan memperoleh sisa kuota dari lingkaran induk perusahaan. Justru kendala yang membuat MBAP belum melakukan transaksi transfer kuota, ialah diprediksi karena patokan harga.

 

Berdasarkan aturan yang berlaku, proses transfer kuota memang diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Sehingga dimungkinkan pihak penjual kuota, alias perusahaan yang punya kelebihan pasok domestik, dapat menjual kuota dengan harga di atas rata-rata. Maksudnya, kelebihan itu dijual dengan harga lebih dari USD 70 per ton untuk kalori 6.322 kcal.

Di sudut lain, PT Arutmin Indonesia, sebagai salah satu perusahaan yang punya tabungan lebih DMO, merasa berada di atas angin. Chief Executive Officer Arutmin, Ido Hutabarat mengatakan, pihaknya menganggap banderol di atas USD 70 per ton itu adalah harga yang wajar, dan memang semestinya begitu. Sebab, harga USD 70 per ton merupakan harga batu bara khusus kelistrikan yang punya misi untuk membantu Perusahaan Listrik Negera (PLN). Sehingga, apabila Arutmin sanggup memenuhi DMO lebih dari 25 persen, dan menjual sisa kuota itu dengan harga bisnis, maka itu menjadi hal yang sah-sah saja.

 

Meski demikian, saat ditanya, apakah Arutmin berhasil menjual kelebihan DMO miliknya, dan sudah melakukan transaksi transfer kuota ? Ido mengaku belum. Hingga kini, Arutmin belum menemukan pihak yang membeli sisa kuota. Sayangnya, Ido enggan menyebut berapa volume kuota batu bara milik Arutmin yang siap ditransfer.

 

“Arutmin belum melakukan transfer kuota,” beber Ido kepada tambang.co.id, Senin (22/10).

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia memberikan informasi menarik, bahwa pemerintah akan mengundang segenap pelaku usaha untuk mencari jalan keluar implementasi transfer kuota dalam waktu dekat ini.

 

“Hari Kamis (25/10) akan ada rapat rekonsiliasi dengan PLN, (Kementerian) ESDM dan perusahaan di Bali,” ujar Hendra.

 

Untuk diketahui, dalam regulasi yang diterbitkan pemerintah soal transfer kuota, APBI diberi mandat oleh Kementerian ESDM untuk mengatur jalannya transfer kuota itu, Tapi, Hendra pernah mengaku, APBI kesulitan menentukan sikap.

 

Pasalnya, praktik transfer kuota di lapangan dengan mekanisme Bussines to Bussines, akan merugikan perusahaan batu bara golongan spesifikasi kadar rendah. Misalnya, dia memproduksi batu bara kadar 3200 kcal, yang harga jualnya sekitar USD40-an per ton. Dia dipaksa membeli sisa kuota dari perusahaan besar, dengan spesifikasi batu bara kadar 5400 kcal, yang harganya mencapai USD 50-an per ton.

 

Tarik ulur ini yang membuat APBI bimbang. Sebab, anggota APBI terdiri dari golongan perusahaan yang beragam, dari yang kecil, menengah, hingga perusahaan yang besar.

 

Untuk diketahui, APBI juga pernah mendorong penggunaan opsi lain, yaitu iuran untuk menunaikan kewajiban DMO, yang sejatinya untuk menanggung beban PLN. Opsi ini punya cara implementasi, setiap ton batu bara yang diproduksi, dikenai potongan untuk iuran. Potongan itu bisa dihitung dengan patokan misalnya, USD 2 dolar per ton dengan kadar 6.332 kcal. Lalu iuran itu disumbangkan kepada PLN untuk menambal selisih harga batu bara dari yang dicanangkan dengan harga di pasaran.