Teror Bohir Batu Bara (Seri 2 Mafia Energi)
Oleh; Budi Santoso, Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss)
Pada prinsipnya, status pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) adalah kontraktor (bukan pemilik), yang selamanya tidak bisa disejajarkan dengan pemilik. Dulu, pemegang PKP2B berposisi sebagai kontraktor dari Perum Batubara, perusahaan milik negara yang menangani urusan emas hitam, sekarang namanya berganti menjadi PT Bukit Asam. Pada tahun 90an, posisi Perum Batubara berubah, digantikan oleh Pemerintah. Sehingga pemegang PKP2B langsung berkontrak dengan Pemerintah, tidak lagi business to bussines dengan perusahaan negara. Ini awal mula kesalahan Pemerintah yang merendahkan dirinya sendiri menjadi setara dengan pemegang PKP2B. Hal tersebut terjadi entah karena kebodohan pembuat kebijakan atau lantaran cerdiknya pemegang kontrak.
Tujuan penunjukan kontraktor, termasuk dalam konteks tambang mineral Kontrak Karya (KK), dibentuk karena Pemerintah atau negara pada saat itu merasa belum mampu mengelola sendiri potensi sumber daya alam. Hal ini menjadi latar belakang mengapa perusahaan swasta diberi durasi izin operasi hingga 30 tahun, durasi yang cukup lama. Kemudian izin tersebut boleh (bukan berhak) diperpanjang dengan persetujuan (otoritas dan daulat) Pemerintah.
Dalam perjalanannya, PKP2B dibagi atas beberapa generasi, satu sampai tujuh, dengan kewajiban fiskal dan kewajiban lainnya yang berbeda. PKP2B generasi satu seharusnya saat habis kontrak, konsesinya beralih menjadi Wilayah Pencadangan Negara. Kemudian dalam proses lelang, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki hak prioritas penawaran.
Secara volume, produksi PKP2B generasi satu hampir mencapai 230 juta ton per tahun, 50 persen pemasok PT Perusahaan Listrik Negara, memiliki cadangan batu bara hingga 3 miliar ton dan sumberdaya 20 miliar ton, asetnya yang akan menjadi Barang Milik Negara (BMN) sekitar USD 3 miliar. Adapun lima besar PKP2B generasi satu antara lain PT Arutmin Indoneisia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal.
Potensi Kerugian Negara
Batu bara adalah energi, energi adalah vital dan seharusnya tidak dilihat hanya sebagai komoditas biasa, apalagi hanya dilihat hanya sekadar sebagai penyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ketika PKP2B kembali dikelola oleh BUMN tentunya akan memberikan portofolio BUMN sangat besar dan keuntungan besar. Di tengah kondisi negara yang masih mensubsidi energi, dan rakyat masih butuh energi murah. Sehingga menjadi langkah yang strategis apabila BUMN mengambil alih konsesi PKP2B.
Yang penting lagi, saat lahan jumbo batu bara dipegang BUMN, negara tidak harus meminta-minta diskon kepada PKP2B ketika harga batu bara melambung dan Pemerintah diminta menahan tarif listrik.
PKP2B mendapat kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) 45 persen. Untuk mensiasati itu, pemegang PKP2B terindikasi melakukan trik keuangan yaitu transfer pricing dengan agennya di luar negeri, kemudian transfer profit kepada kontraktornya, bahkan melakukan denda palsu di mana trader dengan end user memanipulasi denda. Ini menjadi jawaban kenapa pemegang PKP2B banyak memakai trader.
Konser Teror Di Mana-Mana
Supaya sang Bohir masih tetap menguasai PKP2B setelah habis waktunya (2019-2025) maka perlu dibuatlah konser teror Rock Ballad berikut penyanyi dan penyelenggaranya, lagu-lagunya cukup hits akhir-akhir ini, yaitu;
Operasi akan berhenti, isu ini ditiupkan kalau PKP2B tidak dilanjutkan dan terjadi penggantian pemilik (BUMN). Kegiatan ekonomi akan berdampak, pengangguran dan PNBP hilang. Ketakutan ini juga dipromosikan oleh Pemerintah dengan membuat kelinci percobaan PT Tanito Harum yang sampai sekarang terkatung-katung. Faktanya, pergantian pemilik tidak akan menghentikan operasi, PT Berau Coal sudah ganti pemilik 4 kali, produksi jalan terus.
Potensi penurunan pendapatan negara, ini pelecehan intelektualitas sebagai bangsa dan tentunya BUMN, ini berkebalikan dengan alasan pembelian saham 51 persen PT Freeport Indonesia PTFI dengan nilai USD 3,8 miliar, yang digadang-gadang akan menaikan pendapatan negara. Pemerintah mempermalukan dirinya sendiri, atau selama 30 tahun berlangsung Pemerintah masih tetep tidak punya kemampuan.
Arbitrase International, Pemerintah terkesan menakuti dirinya sendiri. Kalau kasus ekspor nikel Pak Jokowi berani menantang akan memakai lawyer top, kenapa Pemerintah dalam urusan PKP2B kok malah mundur. Apakah Pak Jokowi dan Pemerintah itu beda ?
Kepastian Hukum, pemegang PKP2B sudah menandatangani kontrak sejak 30 tahun lalu dan baru sekarang mengatakan tidak ada kepastian hukum, anehnya logika ini sering dinyanyikan oleh penyanyi bayaran dan Pemerintah.
Ketidakmampuan BUMN, masalah BUMN tidak mampu adalah urusan lain dan harus menjadi tekad Pemerintah untuk memperbaiki, kalau itu menjadi alasan maka sebaiknya Pemerintah juga menyatakan tidak mampu dan diganti oleh yang mampu. BUMN adalah bagian dari Pemerintah.
Cara Sang Bohir Mencapai Tujuannya
Untuk mencapai tujuan, maka sang Bohir perlu melakukan langkah untuk memuluskan tindakannya.
Pertama, selain membuat teror-teror seperti penjelasan di atas, sang Bohir memerlukan cara yang konstitusional dengan merubah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara dengan pasal-pasal yang disembunyikan. Mengikuti logika pendukung ekspor benih lobster, supaya tidak ada maling, maka yang nyolong jangan disebut maling.
Kedua, menyewakan Barang Milik Negara (BMN). Aset PKP2B yang harusnya menjadi BMN disewakan ke Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan cuma senilai 0.21 persen (depresiasi saja 5 persen) dari harga jual batu bara. Dalam Industri tambang, aset tambang hanya ada nilainya ketika cadangan mineral dan batu bara masih ada, kalau tidak ada ya tinggal rongsokan. Apakah layak negara cuma menampung rongsokan ?
Program-program di atas memerlukan “ROCK TOUR” ke seluruh Indonesia dengan membayar penyanyi profesional bahkan professor yang bisa mewakili Pemerintah, sehingga rakyat dan yang mewakili rakyat setuju terhadap Rock Ballad tadi dan tentunya ikut bernyanyi.
Akhirnya, saya perlu juga berterimakasih kepada Bu Rini Sumarno sebagai Menteri BUMN yang tidak menyetujui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi Undang-Undang (RUU) Minerba yang lalu, karena BUMN tidak kebagian mengelola Eks PKP2B, dan akhirnya RUU Minerba batal disahkan. Semoga dalam periode Pak Jokowi jilid 2 ini kebijakan tersebut dapat dilanjutkan oleh Menteri BUMN dan Menteri ESDM yang baru, walaupun saya agak ragu dengan Menteri BUMN yang masih berkaitan dengan kepemilikan Adaro.
Sepertinya rakyat Indonesia perlu menantang Pak Erick Tohir untuk bertindak sebagai pembela dan menguatkan BUMN, bukan sebaliknya sebagai bagian dari Pemiliki Adaro.
Sebagai penutup, tidak ada alasan Indonesia miskin dan bodoh kecuali akibat salah kelola sumberdaya alam. Sikap salah kelola akan membawa kita pada pengingkaran nikmat dengan terus merasa tidak cukup, walau kita memiliki sumberdaya alam yang melimpah.
Baca juga : Jokowi Dalam Gendang Mafia (Seri 1 Mafia Energi)