Beranda Tambang Today Umum Terkait FABA Bukan Lagi Limbah B3, Ini Catatan Lembaga Pemerhati Lingkungan

Terkait FABA Bukan Lagi Limbah B3, Ini Catatan Lembaga Pemerhati Lingkungan

Jakarta,TAMBANG, Pemerintah lewat PP No.22 tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menetapkan abu batu bara tidak lagi masuk dalam Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3).

Terkait ini Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) memberi beberapa catatan kritisnya. Pertama, luputnya pertimbangan biaya yang timbul dari resiko pencemaran abu batubara akibat longgarnya aturan pengelolaan abu batubara sebagai Limbah Non B3.

ICEL mencatat di beberapa kesempatan Pemerintah pernah menyatakan bahwa potensi keuntungan ekonomi dari dikeluarkannya abu batubara dari daftar limbah B3 adalah sebesar Rp. 447 juta rupiah per hari. Keuntungan ekonomi tersebut diperoleh dari penghematan biaya pengolahan abu batubara oleh pengolah limbah B3 serta dari keuntungan pemanfaatan abu batubara.

Kedua, ketidakadilan lingkungan dengan adanya potensi distribusi dampak atau risiko terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.  Dengan statusnya sebagai limbah non B3, kini abu batubara tidak perlu diuji terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan.

“Artinya terdapat risiko di mana abu batubara dimanfaatkan tanpa kita ketahui potensi pencemarannya. Terlebih lagi, aturan pemanfaatan abu batubara sebagai limbah non B3 tidak memprioritaskan cara pemanfaatan limbah abu batubara yang paling aman,”tulis ICEL dalam rilis yang diterima www.tambang.co.id.

ICEL menilai pemanfaatan abu batubara yang buruk seperti untuk material urugan atau penyubur tanaman bisa jadi digunakan oleh pelaku usaha. Tentu kondisi ini tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian yang menghendaki tindakan pencegahan potensi pencemaran lingkungan hidup berdasarkan pada informasi besaran dan potensi terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dari suatu kegiatan.

Hal ketiga, hilangnya kewajiban pelaku usaha PLTU untuk memiliki sistem tanggap darurat untuk pengelolaan abu batubara. Hal yang juga membedakan pengelolaan Limbah B3 dan limbah non B3 adalah adanya kewajiban untuk memiliki Sistem Tanggap Darurat. “Pada dasarnya, sistem tanggap darurat merupakan sistem pengendalian keadaan darurat akibat kejadian kecelakaan Pengelolaan Limbah B3,”demikian ICEL.

Kecelakaan ini dapat diakibatkan oleh manusia, teknologi, maupun bencana alam. Hal ini tentu mengkhawatirkan apabila melihat fakta bahwa cukup banyak PLTU yang berada di kawasan rawan bencana.

Dalam praktiknya, abu Batubara (fly ash dan bottom ash) akan disimpan sementara di lokasi sekitar pembangkit sebelum pada akhirnya dimanfaatkan atau dikelola. Dengan dikeluarkannya abu batubara dari daftar limbah B3, tidak ada kewajiban bagi pelaku usaha PLTU untuk memiliki sistem tanggap darurat untuk pengelolaan abu batubara ini. Ketika ada pencemaran lingkungan akibat adanya keadaan darurat, sistem yang siap untuk menanggulangi dan memulihkan pencemaran tersebut tidak tersedia. Hal keempat, adanya potensi “mengendurkan” penegakan hukum terhadap pelaku usaha pengelola abu batubara. Sebagai contoh, dalam konteks penegakan hukum perdata, pengelola abu batubara berpotensi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) karena bukan merupakan kategori B3.

Bahkan dalam konteks penegakan hukum pidana, dengan dikeluarkannya abu batubara dari kategori limbah B3, terhadap pelaku usaha yang tidak melakukan pengelolaan abu batubara ataupun tidak melakukan pengelolaan abu batubara namun tidak sesuai spesifikasi, tidak dapat dikenakan ancaman pidana lagi.

Pada akhirnya, ICEL melihat bahwa bentuk pelonggaran regulasi pengelolaan abu batubara ini memberikan ancaman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Hingga saat ini, studi membuktikan bahwa bahan beracun dan berbahaya yang ditemukan dalam abu batubara dapat merusak setiap organ utama dalam tubuh manusia

Disebutkan bahwa pencemar dalam abu batubara dapat menyebabkan terjadinya kanker, penyakit ginjal, kerusakan organ reproduksi, dan kerusakan pada sistem saraf khususnya pada anak-anak .

Untuk ICEL meminta Pemerintah untuk segera mencabut kelonggaran pengaturan pengelolaan abu batubara dan tetap mengkategorikan abu batubara sebagai limbah B3. Kemudian tidak mengeneralisir pemberian pengecualian abu batubara sebagai limbah B3. Pengecualian hanya dapat diberikan kasus per kasus.

Kemudian menjalankan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat terhadap pelaku usaha yang melakukan pengelolaan abu batubara. Diantaranya menempatkan kegiatan terkait abu batubara sebagai kegiatan yang dapat menimbulkan ancaman serius.

Lalu mengedepankan pertimbangan dampak terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat termasuk prinsip kehati-hatian dalam pengambilan keputusan.