Beranda Tambang Today Umum Soal RUU EBET, ESDM: Tinggal Tunggu 2 Pasal

Soal RUU EBET, ESDM: Tinggal Tunggu 2 Pasal

RUU EBET
Ilustrasi: PLTS Atap.

Jakarta, TAMBANG – Progres pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) tinggal menunggu kepastian dua pasal. Hal tersebuut disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi.

“Prosesnya sudah, tim sinkronisasi dan tim perumus sudah membahas 63 pasal, yang sudah disepakati ada 61 pasal, tinggal 2 pasal, yakni 1 pasal terkait energi baru dan 1 pasal terkait energi terbarukan. Isi 2 pasal yang terakhir ini terkait Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) atau sewa jaringan,” jelas Eniya dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (10/9).

Eniya menjelaskan, terkait dua pasal tersebut, Pemerintah mengusulkan PBJT yang isinya antara lain bahwa pemenuhan kebutuhan konsumen akan listrik yang bersumber dari Energi Baru atau Energi Terbarukan wajib dilaksanakan berdasar Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan dapat dilakukan dengan PBJT melalui mekanisme sewa jaringan.

Dalam hal PBJT melalui sewa jaringan, imbuh Eniya, usaha jaringan transmisi tenaga listrik wajib membuka akses pemanfaatan bersama jaringan transmisi untuk kepentingan umum. Kemudian, PBJT melalui mekanisme sewa jaringan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Terkait kedua pasal tersebut, ujar Eniya, Pemerintah telah menyampaikan dan menjelaskan pada Rapat Panitia Kerja RUU EBET bersama Komisi VII DPR RI, namun masih ditunda untuk pembahasan lanjutannya.

“Pemerintah sebagai tim perumus telah menyampaikan kepada Komisi VII DPR RI, dan Komisi VII juga sudah paham dengan pasal tersebut, rapatnya masih ditunda,” ujarnya.

Dianggap Pesanan Oligarki, Sejumlah Tokoh Serukan Tolak Skema Power Wheeling RUU EBET

Selain itu, Eniya juga menyampaikan, dengan adanya skema PBJT ini, swasta dapat menjadi penyedia listrik, sehingga harga listrik EBT menjadi lebih murah.

“Sehingga listrik yang sampai ke masyarakat adalah listrik murah, di sini subsidi Pemerintah turun, itu tujuan kita untuk memasukkan ke RUU EBET seperti ini. Kita memprioritaskan EBET yang murah ke depan,” imbuh Eniya.

Eniya juga mengungkapkan, di RUU EBET ini nanti, semua badan usaha yang mengusahakan kegiatan untuk menurunkan emisi mendapatkan insentif melalui nilai ekonomi karbon.

“Salah satu keuntungan RUU EBET ini kalau telah disahkan semua badan usaha yang saat ini sudah pasang solar panel, sudah berkontribusi di biomassa, dan mengusahakan penurunan emisi mendapatkan insentif dari nilai ekonomi karbon. Ini kalau disahkan, nilai ekonomi karbon berjalan. Kalau UU ini tidak disahkan, tidak ada insentif. Insentif inilah yang paling utama di RUU EBET ini,” tandasnya.

Hal lain yang juga mendesak pengesahan RUU EBET adalah untuk memuluskan jalan dalam penyediaan listrik untuk daerah yang masih kekurangan akses listrik. Terutama di daerah Indonesia Timur yang masih banyak menggunakan listrik dari diesel yang harganya jauh lebih tinggi dari kawasan Indonesia lainnya.

“Tetapi begitu kita bicara baterai, harganya bisa di bawah USD30 sen, sementara diesel bisa mencapai USD50 sen. Berarti EBET lebih murah di situasi seperti ini. Yang paling penting listrik di Indonesia Timur ini. Itu yang menggugah rasa bahwa UU EBET ini harus segera diselesaikan,” pungkasnya.