Beranda Tambang Today Soal Divestasi Freeport, Anggota Komisi VII DPR RI Ingin Laporkan ke KPK

Soal Divestasi Freeport, Anggota Komisi VII DPR RI Ingin Laporkan ke KPK

Rapat Dengar Pendapat (RDP Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba Bambang Gatot Ariyono, Selasa (15/1)

Jakarta, TAMBANG –  Setelah proses divestasi saham PT Freeport Indonesia oleh Pemerintah Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) selesai, masih saja ada anggota DPR RI yang menggugat.

 

Anggota Komisi VII, Muhammad Nasir menilai, ambil alih mayoritas saham yang menelan biaya USD3,85 miliar itu merugikan negara. Menurutnya, Pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya jika mengambil alih saham Freeport pada tahun 2021 nanti.

 

“Saya minta kasus divestasi ini dilaporkan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dan komisi VII, saya akan merekomendasikan pada KPK untuk check ini. Kenapa (divestasi) tidak dilakukan 2021, (tapi) dilakukan sekarang, apa kepentingannya, ini aneh,” tutur Nasir saat Rapat Dengar Pendapat bersama jajaran Kementerian ESDM di kompleks parlemen, Selasa (15/1).

 

Ia pun membandingkan proses akuisisi Freeport dengan blok Rokan, yang dipegang oleh PT Chevron Indonesia. Setelah terminasi atau habis masa kontrak pada tahun 2022 nanti, blok Rokan beralih dikelola oleh PT Pertamina. Dalam perkara ambil alih ini, pemerintah tidak mengeluarkan biaya. Berbeda dengan proses ambil alih tambang Grasberg dari tangan Freeport.

 

“Buktinya Chevron bisa. Apa bedanya? Pertamina sudah masuk ke dalam. Sekarang Pertamina mulai memasukkan investasi untuk teknologi pengeboran. Kenapa ini tidak dilakukan di freeport ?” tegas politikus dari Fraksi Demokrat itu.

 

Menyikapi hal tersebut, Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, bahwa menghentikan kontrak Freeport di tahun 2021, akan membuat pemerintah terseret ke meja arbitrase.

 

Pasalnya, Freeport memiliki hak untuk memperoleh perpanjangan setelah masa kontraknya berakhir di tahun 2021. Kontrak Karya yang disepakati pada tahun 1991 menyebutkan, bahwa Freeport akan mengantongi izin operasi hingga 30 tahun kemudian, sampai 2021, dan berhak diberi perpanjangan hingga dua kali 10 tahun, sampai 2041.

 

Hal tersebut turut dinyatakan juga dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Tepatnya di pasal 169 dan pasal 83.

 

Lalu diperkuat lagi dalam Kontrak Karya pasal 31, yang berbunyi :

Persetujuan ini akan mempunyai jangka waktu 30 tahun dan perusahaan akan diberikan hak untuk memohon 2 kali perpanjangan masing-masing 10 tahun secara berturut-turut, dengan syarat disetujui Pemerintah. 

Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan secara tidak wajar.

 

Menurut Bambang Gatot, seandainya pemerintah memaksa Freeport berhenti, dan berujung arbitrase, maka potensi kerugian yang muncul ialah dari aspek teknis operasional di tambang Grasberg.

 

“Kalau itu terjadi arbitrase, (operasional) mesti berhenti. Menunggu final siapa yang menangkan. Kita belum tentu menang, menang oke, tapi kalau kalah? Recovery-nya mahal lagi, apalagi ventilasi, itu 500 kilometer lebih, ada zat kimia, secara teknis tidak bisa,” jelas Bambang.

 

Ia menghitung, berhentinya operasional tambang Grasberg akan menyebabkan beberapa kerusakan, diantaranya:

  1. Kerusakan pada terowongan dan infrastruktur akibat beban statis jangka panjang.
  2. Rembesan air tanah serta lumpur yang diperkirakan mencapai enam juta meter kubik air dengan tekanan 800 psi.
  3. Potensi kehilangan 30 persen cadangan Grasberg Block Cavingakibat longsoran dan pengotoran dari tambang terbuka.
  4. Tekanan udara akibat crown pillar tidak dapat menahan beban
  5. Bahaya keselamatan saat akan dimulai lagi kegiatan penambangan setelah dihentikan sementara, di area Block Caving, jalan, terowongan, drainase, serta ventilasi.