Jakarta,TAMBANG, PT Freeport Indonesia (PTFI) akan membangun pabrik pengolahan konsentrat tembaga alias smelter. Pabrik ini nantinya akan menghasilkan katoda tembaga. Dalam naskah studi kelayakan (feasibility study), Freeport akan menggunakan teknologi besutan perusahaan asal Finlandia, Outotec.
“Teknologinya Outotec dari Finlandia,” kata Vice President Corporate Communication PTFI, Riza Pratama saat ditemui di Jakarta, Rabu (8/5).
Sesuai rencana yang diajukan kepada Pemerintah, smelter Freeport bakal dibangun di Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Adapun Volume input konsentrat, ditargetkan mencapai 2 juta ton per tahun.
Berdasarkan laporan kuartal pertama 2019 yang dirilis Freeport McMoRan, induk Freeport Indonesia, perkiraan biaya modal awal untuk proyek smelter berada dalam kisaran USD 3 miliar.
“(Modal) smelter baru akan dibagikan pada pemegang saham Freeport Indonesia sesuai dengan persentase kepemilikan sahamnya masing-masing,” tertulis dalam laporan itu yang terbit pada akhir April lalu.
Menurut Riza, pihaknya tidak dapat memburu margin yang besar dari hasil pengolahan konsentrat tersebut. Pasalnya, konsentrat yang diolah Freeport saat ini sudah mencapai kadar murni 95 persen.
“Hanya tersisa 5 persen saja marginnya,” ungkap Riza.
Untuk mencapai skala keekonomian, sambung Reza, dibutuhkan kerjasama dengan pihak yang menyerap hasil pengolahan, seperti industri manufaktur, otomotif, atau elektronik. Katoda tembaga lebih bernilai bila diolah menjadi produk yang lebih hilir lagi oleh industri end user.
Meski demikian, Freeport tetap akan melanjutkan rencana pembangunan smelternya. Sebab, berdasarkan aturan yang berlaku, perusahaan tambang yang memproduksi mineral dan memperoleh rekomendasi ekspor, diwajibkan mendirikan fasilitas pengolahan.
“Smelter kita tetap harus bangun meski margin 5 persen. Karena aturannya setiap perusahaan tambang harus bangun smelter,” papar Riza.
Untuk diketahui, pada kuartal pertama tahun ini, Freeport mencatatkan produksi tembaga dari tambang Grasberg, dengan hitungan terpulihkan sekitar 145 juta pon. Turun dari perolehan periode sama di tahun lalu, yang berada di angka 311 juta pon. Anjloknya produksi disebabkan masa transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah.