Jakarta,TAMBANG – Upaya pemerintah mengoptimalisasi penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam pekerjaan infrastruktur, tentunya diharapkan dapat menghidupkan industri pertambangan khususnya mineral. Sebab adanya banyak tambang mineral dalam negeri yang memproduksi bahan mentah namun tidak memiliki pasar.
Tingginya pekerjaan infrastruktur di Indonesia memang menjadi pertanyaan bagi industri pertambangan. Pasalnya, setelah bahan mentah dilarang untuk ekspor dan ketidakmampuan mendirikan smelter, pasar dalam negeri pun sulit ditembus.
Hal ini salah satunya dialami oleh PT Lisindo Sentosa, perusahaan tambang bijih besi dari wilayah timur Indonesia. Secara kapasitas, Lisindo yang mampu memproduksi bijih besi hingga 100 ribu ton per bulan hingga kini belum mendapatkan peluang pasar dalam negeri.
Lisindo memahami kebijakan Pemerintah atas aksi penyetopan jualan barang mentah ke luar negeri. Namun juga berharap dibantu untuk menciptakan pasar domestik sehingga mampu menyerap produk miliknya. Sayangnya, hingga detik ini, Lisindo tak kunjung bertemu dengan pembeli. Tambangnya jadi mandek. Lisindo tak berani produksi kalau pasarnya tidak jelas.
“Saya juga belum tahu mengapa, padahal pembangunan infrastruktur nasional, yang punya kebutuhan besi tinggi, terus melaju. Seharunya permintaan bahan baku besi juga lancar terserap,” kata Direktur Lisindo, Novriadi, yang merasa keheranan.
Meski demikian dengan peluang optimalisasi TKDN ini, Lisindo tetap berharap bisa menjajaki potensi penyerapan dari produsen besi nasional, PT Krakatau Steel. Sebab dikabarkan, emiten berkode sama KRAS ini masih mendatangkan pasokan bahan baku dari luar negeri. KRAS mengimpor bijih besi dari Brasil dan Australia.
Lisindo membaca peluang itu. Apalagi di tengah kondisi Indonesia yang sedang mengalami defisit transaksi berjalan, KRAS sebagai perusahaan pelat merah, tentu didesak untuk segera mengurangi ketergantungan impor, dan melaksanakan segenap transaksi dalam bentuk mata uang rupiah.
“Kali ini, kami berharap momentum tidak lepas lagi, setalah sekian tahun terkatung-katung tidak memperoleh pasar di negeri sendiri,” harap Novriadi.
Sebelumnya, Lisindo telah melakukan eksplorasi sejak 2006 silam dan mengantongi sertifikat Clear and Clear di tahun 2017. Sayangnya IUP ini belum bisa produksi karena tidak ada pasar domestik yang menyerapnya.
Novriadi bercerita tentang rentetan panjang yang menemani perjalanan Lisindo hingga saat ini. Mengantongi Kuasa Pertambangan (KP) sejak tahun 2006, kemudian melakukan kegiatan eksplorasi. Ketika UU Mineral dan Batu bara diterbitkan tahun 2009, PT Lisindo Sentosa mulai mengurus peralihan dari Kuasa Pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Setelah itu, karena ada kewajiban untuk mengurus sertifikat Clear and Clean (CnC), perusahaan pun mengurusnya. Butuh waktu yang tidak singkat karena ada tumpang tindih lahan dengan IUP yang lain. Namun akhirnya PT Lisindo Sentosa masuk dalam daftar perusahaan yang mengantongi Sertifikat CnC pada pengumuman ke 27 pada tahun 2017.
Dari sekitar 8 IUP di satu area yang sama, Lisindo menjadi satu-satunya yang lolos seleksi dan berstatus CnC.
Sayangnya hal tersebut tidak lantas membuat perusahaan ini mulus melakukan kegiatan operasi produksi. Kebijakan Pemerintah yang melarang ekspor ore di tahun 2014 menjadi penghambat. Meski ada relaksasi di awal 2017, perusahaan juga tidak dapat memanfaatkannya karena tidak ekonomis untuk membangun smelter.