Jakarta-TAMBANG. DPR dan Pemerintah sepertinya sepakat bahwa sudah saatnya dilakukan revisi UU Minerba. Salah satunya karena beberapa amanat UU yang tidak terpenuhi. Pihak DPR bahkan optimis revisi tersebut akan selesai pada pertengahan tahun 2016 ini. Sementara pihak Pemerintah dengan melihat pengalaman revisi UU sebelumnya mengaku tidak terlalu yakin akan selesai pertengahan tahun silam. Namun pihaknya berharap agar revisi tersebut selesai sebelum 2017.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Bambang Gatot. mengatakan setidaknya pada pertengahan tahun draf terkait dengan revisi UU Minerba sudah diselesaikan. Sehingga sebelum 2017 sudah selesai, serta seluruh PP yang tidak sesuai akan ternulir otomatis.”Kita harapkan UU ini akan selesai sebelum 2017. Sehingga peraturan dibawahnya akan teranulir seluruhnya. Makanya saya katakan sebelum UU selesai, dari sekarang PP diperlukan disiapkan. Begitu UU selesai kita proses penerbitan PP segera,” tutup Bambang beberapa waktu lalu.
Tahun 2017 menjadi tahun krusial khusus bagi sektor mineral karena di tahun ini sesuai Permen 01 tahun 2014 dan kemudian direvisi pada Permen ESDM No.05 tahun 2016 menjadi tahun terakhir bagi perusahaan untuk diperkenankan izin ekspor konsentrat. Meski selama ini kebijakan tersebut hanya dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT).
Pengamat pertambangan Jannus T.H. Siahaan mengatakan yang dibutuhkan pelaku usaha dalam kondisi saat ini adalah dukungan Pemerintah agar bisa bertahan di tahun sulit. Salah satu dukungannya tentu saja lewat kepastian hukum.
“Pelaku usaha pertambangan saat ini sedang berjuang bertahan di tengah melemahnya harga komoditi. Oleh karenanya Pemerintah jangan membebani kalangan pelaku usaha dengan berbagai kewajiban baru. Mereka untuk bertahan saja sudah bersyukur,”kata Jannus yang lama berkecimpung di dunia pertambangan ini.
Oleh karenanya dalam revisi UU Minerba ia berharap agar kepentingan perusahaan tidak hanya perusahaan besar tetapi juga perusahaan skala menengah dan kecil juga diakomodir. “Diharapkan revisi UU Minerba ini tidak untuk mengakomodir kepentingan perusahaan besar saja tetapi juga perusahaan menengah dan kecil yang sebagian besar dimiliki pengusaha Indonesia,”kata Jannus yang disertasinya doktoralnya mengenai konflik sosial sektor pertambangan itu lagi.
Dan lebih penting lagi revisi UU ini harus memperkuat posisi Pemerintah Indonesia dalam hal pengelolaan sumber daya alam tambang. “Pemerintah harus diberi kewenangan yang lebih besar dalam mengatur sektor pertambangan sehingga bisa memberi manfaat yang lebih besar bagi negara dan masyarakat,”ungkap Jannus.
Selama ini yang terlihat beberapa regulasi lebih mengakomodir kepentingan perusahaan perusahaan skala besar. Sebut saja saat ini, PT Freeport Indonesia masih diberi kesempatan ekspor konsentrat meski beberapa persyaratan belum terpenuhi. “Jangan sampai ada kesan diskrimasi dalam penerapan kebijakan,”katanya.
Doktor sosiologi ini juga mengingatkan, dengan tanpa mengabaikan upaya mengamankan kepentingan rakyat dan kondisi perekonomian domestik, pemerintah sudah seharusnya konsisten dalam menegakkan kedaulatan ekonomi negara dalam konteks pemberlakuan kebijakan dan aturan kepada perusahaan multinasional. “Dalam kebijakan investasi di negara ini sebaiknya negara bisa bersikap tegas untuk merujuk pada aturan main yang berlaku dan tidak memberikan ruang sekecil apapun bagi tekanan politik pemerintah negara besar.”katanya.