Yogyakarta, TAMBANG – Asosiasi Parktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET) secara resmi telah terbentuk. Pembentukan APHMET dilakukan di sela-sela penyelenggaraan Forum Hukum Minyak dan Gas Bumi (FHMM) 2023 yang digelar di Yogyakarta, 9-11 Oktober 2023.
Kepala Divisi Hukum Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Didik Sasono Setyadi yang juga menjadi Ketua APHMET menyatakan, organisasi ini dibentuk dalam rangka menguatkan wadah tempat berkiprah serta saling asah dan asuh sesama praktisi hukum migas di Indonesia untuk meningkatkan kompetensi, profesionalisme dan integritas.
Menurut Didik, energi migas bagaimanapun juga akan berbaur dan bertansformasi menuju energi baru dan terbarukan. Maka wadah yang dibentuk tidak lagi ekslusif hanya untuk industri hulu migas, namun juga menampung kebutuhan praktisi hukum di bidang energi baru dan terbarukan sehingga wadah ini bernama Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET).
“Untuk itu, mulai tahun ini dan tahun-tahun berikutnya APHMET menjadi wadah kita bersama untuk menyelenggarakan Forum Hukum Hulu Migas dan bahkan di kemudian hari juga untuk Forum Hukum Energi Terbarukan,” kata Didik dalam sambutan pembukaan FHMM 2023, Senin (9/10).
Didik menjelaskan, pada tahun ini FHHM 2023 mengambil tema “Tantangan Regulasi dan Kebijakan di Sektor Hulu Minyak dan Gas Bumi di Era Dekarbonisasi.” Tema ini diambil karena semakin mendesaknya kebijakan dekarbonisasi, terutama dengan semakin dekatnya penerapan teknologi dalam upaya menekan emisi karbon lewat penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dalam Industri Hulu Migas.
Selain membahas isu tersebut, isu-isu penting terkait dengan Project Financing, Undang-undang Migas, Pembaharuan Production Sharing Contract (PSC), Restrukturisasi National Oil Company (NOC), Kemudahan Perizinan Berusaha, Pengawalan Proyek Strategis Nasional, hingga Business Judgement Rule, serta Arbitrase untuk Penyelesaian Sengketa juga akan menjadi topik-topik penting yang dibahas dalam FHHM tahun ini.
Didik menambahkan, selain yang bersifat hanya kajian saja, di FHHM tahun ini juga akan disampaikan hal-hal lain yang bersifat kongkrit dan nyata yaitu, peluncuran Website APHMET dan Situs Regulasi Sektor Migas, Peluncuran Kerjasama BKU Hukum Migas APHMET dengan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, serta peluncuran Pendirian Badan Arbitrase Sengketa Energi (BASE).
Disebutan Didik, industri hulu minyak dan gas bumi di nusantara ini adalah salah satu industri yang tertua. Bahkan jauh lebih tua dari umur republik ini. “Di Industri hulu minyak dan gas bumi yang sudah berumur, tentunya tanpa kita sadari telah lahir, tumbuh dan menjadi matang dan dewasa ribuan praktisi hukum migas yang handal dan kompeten,” kata Didik. P
ara praktisi ini lanjut Didik sangat memahami seluk beluk Industri hulu migas sejak Indische Mijnwet Staatsblad 1899 No.214 jo. Staatsblad 1906 No.434 diberlakukan, kemudian digantikan UU Nomor 44 Perpu Tahun 1960, bahkan kemudian ketika Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian yang mengilhami diterapkannya suatu skema yang menjadikan Indonesia sebagai icon Industri hulu minyak dan gas bumi di dunia yaitu legacy berupa skema Production Sharing Contract (PSC) sampai dengan di era modern sekarang ini.
“Saat ini sudah lebih dari 70 negara di dunia mengadopsi Production Sharing Contract, namun patut disayangkan ketika dunia ingin belajar PSC, tidak datang ke Indonesia, tidak ke UI, UGM, Airlangga dan lain-lainnya, tapi harus pergi ke Houston atau Aberdeen,” kata Didik. Pasti ada sesuatu yang salah dengan ini. Bahkan para praktisi hukum migas di Indonesia yang jumlahnya tak terhitung lagi ini, kata Didik banyak yang telah menyebar bekerja di negara-negara lain.
“Hingga saat ini praktisi hukum migas Indonesia tidak memiliki wadah yang menaungi untuk saling berkolaborasi, bersinergi dan berkontribusi lebih besar, selayaknya kawan-kawan kita di profesi lain seperti IATMI maupun IAGI,” kata Didik.
Saat ini lanjut Didik, untuk mencapai visi dan target 1 Juta BOPD pada tahun 2030 dibutuhkan investasi belasan hingga lebih dari 20 Milyar USD per tahun, di mana sangat memerlukan insentif fiscal dan non fiscal yang menarik. “Bagi kita para praktisi hukum, tentunya ini bukan sekedar angka-angka, namun di sana ada peluang, tantangan, ancaman dan hambatan yang harus dihadapi, dikelola dan dimanfaatkan,” kata dia.
Menurutnya, bisa dibayangkan akan ada berapa banyak regulasi/peraturan, perjanjian / kontrak baik itu sifatnya joint ventures (joint operating agreement), project financing, pengadaan barang dan jasa, kontrak-kontrak komersial (jual beli minyak/ gas bumi / LNG), compliance dengan Lingkungan (Net Zero Emission), hingga urusan-urusan penyelesaian sengketa yang melekat seiring dengan meningkatnya investasi ini dari tahun ke tahun.
“Dan melalui wadah ini semoga diharapkan bisa memperkuat kolaborasi para praktisi hukum migas Indonesia demi kemajuan industri hulu migas dan energi terbarukan untuk ketahanan energi dan kemakmuran bangsa,” tandas Didik.