Jakarta, TAMBANG – Publish What You Pay (PWYP) menilai kebijakan pemerintah dalam pengelolaan batu bara masih cenderung orientasi ekspor. Kebutuhan pasokan domestik pun terancam kekurangan.
Koordinator PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, mengatakan, hal tersebut terlihat dari turunnya ketentuan pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO) tahun 2018 dibandingkan tahun 2017 sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor. 23 K/30/MEM/2018. Sebagai dampaknya, penurunan ekspor secara bertahap,sebagaimana diamanatkan oleh RUEN semakin sulit terealisasikan.
“Akibatnya, tren harga pasar global semakin memicu ekspor batubara, yang juga bisa berdampak pada kekurangan pasokan bagi kebutuhan domestik,” kata Maryati dalam keterangan resminya, Senin (5/2)
Terlebih dengan adanya deregulasi perizinan yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017, yakni menggantikan IUP Operasi Produksi Khusus Pengangkutan dan Penjualan dengan Tanda Registrasi.
“Akses yang mudah untuk mendapatkan Tanda Registrasi sebagai prasyarat melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dikhawatirkan justru berdampak pada potensi penyelewengan dan pelanggaran yang kian besar,” tutur Maryati.
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan adanya temuan potensi kerugian negara sebesar Rp133 triliun, akibat dugaan transaksi yang tidak dilaporkan dari ekspor batu bara selama periode 2006-2016 dengan melihat gap data Indonesia dengan negara importir. Selain itu, Korsup Minerba KPK mengungkap, adanya pemegang IUP OPK seringkali melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dari pihak lain, yang tidak tercantum dalam SK IUP OPK.
“Rendahnya kepatuhan pelaku usaha masih membayangi industri batu bara di Indonesia. Diperlukan sistem yang terintegrasi dari rantai perizinan, penerimaan hingga penjualan untuk dijadikan acuan dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan kewajiban pelaku usaha, agar pelanggaran tidak kembali terulang”, pungkasnya.