Jakarta, TAMBANG – Pemerintah mencanangkan road map pengolahan logam tanah jarang di Indonesia. Direktur Bina Program Mineral dan Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Muhammad Wafid menyebutkan, pilot project atau proyek percontohan mineral dengan istilah teknis rare earth ini akan dimulai pada tahun depan.
“2019, (Kementerian) ESDM akan meluncurkan pilot project nano material tanah jarang,” beber Wafid saat menghadiri Kongres X Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Rabu (1/11).
Ia menjelaskan, penggunaan logam tanah jarang diprediksi akan melesat seiring melonjaknya angka pengguna smartphone.
Selain dapat dimanfaatkan untuk berbagai komponen alat elektronik, logam tanah jarang dapat juga digunakan oleh sektor militer dan kesehatan.
“20 tahun yang lalu, jarang pengguna ponsel dan komputer. Barang tersebut banyak menggunakan mineral tanah jarang, juga menyentuh sektor militer dan kesehatan,” ungkap Wafid.
Sejauh ini, perusahaan yang menyatakan kesiapannya untuk mengolah logam tanah jarang, adalah PT Timah (TINS). Kata Direktur Utama TINS, Mochtar Riza Pahlevi, logam tanah jarang digadang-gadang memiliki harga yang berlipat dari harga timah.
“Mineral ikutan di timah disebut monazite, ada komposisi dengan mineral lain, salah satunya tanah jarang. Kami upayakan bisa kembangkan mineral tanah jarang,” jelas Riza beberapa waktu lalu.
Selain TINS, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) juga dikabarkan menggandeng mitra lembaga riset asal Amerika Serikat, Massachusetts Institute of Technology Energy Initiatives (MITEI). Keduanya akan bekerjasama untuk memanfaatkan unsur rare earth atau logam tanah jarang.
Kerjasama yang diteken bersamaan dengan agenda IMF-World Bank di Bali pada awal bulan lalu itu, memproyeksikan pengembangan logam tanah jarang sebagai salah satu materi pembuatan baterai kendaraan listrik dan magnet dalam pembangkit listrik tenaga bayu.