Beranda Tambang Today Pengamat: Lebih Realistis Divestasi Freeport Sekarang

Pengamat: Lebih Realistis Divestasi Freeport Sekarang

Jakarta, TAMBANG – Divestasi saham 51 persen milik PT Freeport Indonesia (PTFI), dinilai lebih realistis dibanding merebut saham seluruhnya pada tahun 2021 mendatang, saat Kontrak Karya (KK) berakhir.

 

Hal tersebut dikatakan Pengamat Energi Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi.  Menurutnya, jika menunggu KK selesai, maka pemerintah butuh merogoh kocek lebih dalam lagi.

 

Berdasarkan perjanjian KK, pemerintah tidak bisa mengambil tambang PTFI begitu saja tanpa alasan yang wajar. Kalau pun, pemerintah dan Freeport Mc Moran sepakat untuk menghentikan KK, maka pemerintah, dalam hal ini diwakili PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), harus membayar semua peralatan yang digunakan sesuai dengan nilai buku.

 

“Divestasi  51persen saham PTFI merupakan keputusan yang paling realistis dibanding dengan pengambilalihan 100 persen pada 2021,” kata Fahmi melalui keterangan resminya yang diterima tambang.co.id, Jumat (29/9).

 

Menurut perhitungan Fahmy, nilai buku seluruh peralatan diperkirakan sekitar USD 6 miliar, jauh lebih mahal dari pada harga pembelian 51 persen yang hanya mencapai USD 3,85 miliar.

 

Selain soal harga yang lebih murah, Fahmy juga mengatakan, Inalum masih butuh proses transfer pengetahuan. Inalum butuh bersinergi dengan Freeport McMoran untuk mengelola Tambang Grassberg. Sehingga untuk saat ini, Inalum belum siap untuk menguasai saham konsesi tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia itu sepenuhnya.

 

“Sudah tepat sikap pengambilalihan saham 51 persen, karena (Inalum) belum berpengalaman, sehingga masih butuh sinergi. Supaya menghasilkan hasil tambang yang tidak menurun,” ungkap Fahmi.

 

Penguasaan 51 persen saham PTFI, sambung Fahmy, akan memberikan beberapa manfaat ekonomi, di antaranya peningkatan pendapatan dari deviden, pendapatan pajak dan royalty, yang akan ditentukan dari besaran pendapatan tahun berjalan PTFI.

 

Bila mengacu pada laporan keuangan tahun 2017 yang telah diaudit, PTFI membukukan Earning After Tax (EAT), pendapatan setelah dikurangi pajak, sebesar USD 4,44 miliar. Dengan EAT sebesar itu, jangka waktu pengembalian (Pay Back Period) pengeluaran divestasi saham USD 3,85 miliar diperkirakan akan terpenuhi selama tiga tahun.

 

Terkait dengan kewajiban pembangunan smelter setelah divestasi ini dikatakan Fahmy, beban tetap akan ditanggung oleh PTFI. Jika PTFI memutuskan bahwa dana membangun smelter diambil dari kas internal, maka Inalum hanya dikenai beban sesuai porsi sahamnya, sama seperti pemegang saham lainnya. Tapi hal ini bukan menjadi satu-satunya pilihan. PTFI bisa memperoleh pinjaman dari bank.

 

“Melihat potensi cadangan yang ada di PTFI, bukan hal yang sulit untuk mencari pinjaman dari bank. Jadi, beban itu tidak terlalu signifikan mengganggu Inalum,” beber Fahmy.

 

Dari sisi hukum, kesepakatan antara Freeport McMoran dan pemerintah Indonesia patut diapresiasi. Sebagaimana diketahui, mereka telah melakukan penandatanganan Sales and Purchase Agreement.

 

Melalui kesepakatan itu, pemerintah berhasil menghindar dari potensi Arbitase. Pasalnya, dalam KK disebutkan, saat kontrak habis dan PTFI mengajukan perpanjangan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka pemerintah wajib memberikan perpanjangan kontrak. Bila pemerintah tidak memberi, PTFI mengancam akan membawa perkara tersebut ke meja Arbitrase.

 

Untuk diketahui, penandatanganan kesepakatan dilakukan di kantor Kementerian ESDM, Kamis (27/9). Dihadiri oleh Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin, CEO Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson dan perwakilan Rio Tinto. Juga disaksikan langsung oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri BUMN Rini Soemarno.