Jakarta, TAMBANG – Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengatakan, kalau pemerintah memaksa PT Freeport Indonesia untuk angkat kaki, dengan menolak perpanjangan saat kontraknya habis di tahun 2021, maka Freeport bakal mengadukan pemerintah ke meja arbitrase.
“Memang pemerintah bisa saja menolak. Cuma di pasal 31 di kontrak, tidak akan menahan secara tidak wajar. Ada dua hal yang jadi split, satu menahan satu tidak, berpotensi dibawa ke arbitrase. Akibatnya bisa hukum dan teknis,” tutur Bambang.
Pasal yang dimaksud Bambang, ialah Pasal 31 dalam Kontrak Karya yang ditandatangi pada tahun 1991 silam. Bunyinya:
Persetujuan ini akan mempunyai jangka waktu 30 tahun dan perusahaan akan diberikan hak untuk memohon dua kali perpanjangan masing-masing 10 tahun secara berturut-turut, dengan syarat disetujui Pemerintah.
Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan secara tidak wajar.
Itu artinya, Freeport memperoleh izin operasi hingga 30 tahun sampai 2021, dan memiliki hak perpanjangan hingga dua kali 10 tahun, sampai 2041. Hal tersebut turut dipertegas juga dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, di pasal 169 dan pasal 83.
“Kita belum tentu menang (dalam arbitrase), menang oke, tapi kalau kalah ?” seloroh Bambang.
Selain dampak hukum, ia juga menjelaskan perihal dampak teknis yang timbul akibat arbitrase. Perjalanan sidang yang berlarut-larut, akan berimbas pada operasional di tambang Grasberg.
“Kalau itu terjadi arbitrase, (operasional) mesti berhenti. Menunggu final siapa yang menangkan. Kalau mau mulai operasi, Recovery-nya mahal lagi, apalagi ventilasi, itu 500 kilometer lebih, ada zat kimia, secara teknis tidak bisa,” jelas Bambang.
Ia menghitung, berhentinya operasional tambang Grasberg akan menyebabkan beberapa kerusakan, diantaranya :
1. Kerusakan pada terowongan dan infrastruktur akibat beban statis jangka
panjang.
2. Rembesan air tanah serta lumpur yang diperkirakan mencapai enam juta meter kubik air dengan tekanan 800 psi.
3. Potensi kehilangan 30 persen cadangan Grasberg Block Caving akibat longsoran dan pengotoran dari tambang terbuka.
4. Tekanan udara akibat crown pillar tidak dapat menahan beban
5. Bahaya keselamatan saat akan dimulai lagi kegiatan penambangan setelah dihentikan sementara, di area Block Caving, jalan, terowongan, drainase, serta ventilasi.
Alasan lain, mengapa pemerintah menghindari arbitrase, ialah demi menjaga iklim investasi pertambangan di Indonesia. Sikap menolak perpanjangan kontrak, dinilai akan menimbulkan preseden negatif bagi pengusaha yang hendak berinvestasi.
Salah satu upaya menjaga kepastian investasi,tercermin dari aturan mengenai mekanisme perpanjangan kontrak, yang dapat diajukan sebelum masa kontrak habis. Dalam konteks Freeport, pemerintah telah memberikan perpanjangan sebelum masa kontraknya berahir. Pemerintah menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebagai pengganti Kontrak Karya yang masa berlakunya habis di tahun 2021.
“Undang-Undang mengatur perpanjangan (kontrak) tidak pada waktu habis, tapi sebelumnya. Untuk jaminan investasi,” ulas Bambang.
Untuk diketahui, desakan akuisisi Freeport agar dilakukan di tahun 2021, disampaikan oleh Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Muhammad Nasir. Sebelumnya, Ia berpendapat seandainya pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) mengambil alih saham Freeport di tahun 2021, atau menunggu masa kontrak Freeport berakhir, maka pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk akuisisi. Biaya senilai USD 3,85 miliar yang digelontorkan untuk menduduki mayoritas saham Freeport, dinilai merugikan negara.
“Saya minta kasus divestasi ini dilaporkan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dan komisi VII, saya akan merekomendasikan pada KPK untuk check ini. Kenapa (divestasi) tidak dilakukan 2021, (tapi) dilakukan sekarang, apa kepentingannya, ini aneh,” tutur Nasir saat Rapat Dengar Pendapat bersama jajaran Kementerian ESDM.