Jakarta,TAMBANG, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) akan mendorong pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) untuk bahan baku konstruksi dan sumber material. FABA selama ini merupakan limbah dari pembangkit listrik tenaga uap. Sebelumnya FABA masih masuk dalam limbah B3. Namun lewat PP 21 tahun 2021, pemerintah mengeluarkan produk ini dari daftar limbah B3.
Menanggapi hal tersebut, Agus, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengungkapkan pada 2021 estimasi FABA yang dimiliki Indonesia mencapai 17,5 juta ton. Jika FABA masih masuk dalam daftar limbah B3 maka biaya yang diperlukan untuk pengelolaannya akan sangat besar. Namun setelah adanya PP 22/2021 ‘ongkos pengelolaan’ menjadi relatif lebih kecil.
“Pertanyaan, berarti ada penghematan 8,75 triliun, mestinya itu bisa dipakai untuk pemanfaatan yang lebih banyak, oleh PLTU, masyarakat, atau perusahaan, dan akan menjadi buliran sirkularitas ekonomi. Tadi dikeluarkan, sekarang bisa dihemat,” terang Agus pada acara Lokakarya Pemanfaatan Fly Ash Bottom Ash (FABA) yang dilakukan secara virtual, Selasa (02/3/2021).
Menurutnya FABA bisa berfungsi sebagai sumber daya bahan baku berbagai produk dan mempunyai potensi ekonomi. Apalagi Indonesia dikenal memiliki banyak FABA. “Estimasi FABA yang ada dari beberapa PLTU di Indonesia pada 2050 itu mencapai 50 juta ton,”kata Agus.
Ia juga menerangkan estimasi biaya yang diperlukan setiap 10 persen pembakaran FABA bisa mencapai Rp 500.000 per ton FABA. Namun setelah keluar regulasi yang baru maka estimasi biaya ini sudah berkurang. “Itu biaya handling yang dikeluarkan di 2019 di mana kita punya 14,5 juta ton FABA, seluruh Indonesia itu 7,4 triliun,” katanya lagi.
Pemanfaatan FABA, kata Agus bisa bermacam-macam dan sesuai kebutuhan di lapangan, terutama untuk industri konstruksi, baik jalan maupun konstruksi lainnya. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk ekstraksi material maju.
“Jadi FABA punya potensi sebagai sumber material yang saat ini sangat dibutuhkan dalam berbagai industri strategis. Yang lagi rame mobil listrik, baterai, dan seterusnya,” tutupnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Januarti Jaya Ekaputri, dosen Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Ia menjelaskan hingga kini sudah ada penelitian yang final terkait pemanfaatan FABA untuk beton sebagai bahan pengganti semen atau pasir dari level laboratorium serta kerja sama dengan industri.
“Sekarang masalahnya sejak FABA itu sudah dikeluarkan dari daftar limbah B3, ini aplikasinya harus ditingkatkan, kalau dulu orang ragu-ragu, ini izinnya bagaimana, transportasi bagaimana, dan apakah melanggar regulasi atau tidak,” ungkap Januarti.
Januarti memandang setelah FABA dikeluarkan dari daftar limbah B3 pasca terbitnya PP 22 beberapa waktu lalu, yang paling penting diselesaikan ialah terkait regulasi atau aturan turunannya dari pemerintah terkait pemanfaatan FABA yang dimaksud. Pemerintah lewat kementerian terkait harus segera mengeluarkan aturan atau secaman standar operasional prosedur (SOP) penanganan FABA.
“Itu yang kita tunggu. Kemudian dari sisi industri, itu mereka jangan bingung lagi, karena ada model yang dapat diaplikasikan dalam sebuah produk, siapa yang mau menggunakan atau pakai,” ujarnya.
Sebagai peneliti ia berharap Indonesia memiliki pusat riset tentang FABA kerena potensi batu bara Indonesia yang besar.
“Jadi sebagai pusat informasi dan pusat ilmu pengetahuan, sebaiknya ada pusat riset batu bara termasuk pemanfaatan limbahnya,” pungkasnya.