Beranda Tambang Today Marpaung: Freeport Punya Izin Buang Limbah Tambang ke Sungai

Marpaung: Freeport Punya Izin Buang Limbah Tambang ke Sungai

Jakarta, TAMBANG – Mantan Direktur Teknik Dan Lingkungan Direktorat Jenderal Mineral Dan Batubara (Ditjen Minerba)  Kementerian ESDM, Mangantar Sabungan Marpaung memberikan tanggapan mengenai isu pengelolaan limbah PT Freeport Indonesia.

 

Marpaung meminta pemerintah agar meninjau ulang soal tudingan hilangnya jasa ekosistem lingkungan akibat limbah tailing milik Freeport. Sebab menurutnya, Freeport telah mengantongi izin untuk membuang limbah tambang dengan cara dialirkan melalui sungai. Dan itu diputuskan setelah melewati kajian. Ada rentetan pertimbangan tertentu sebelum Freeport diperkenankan menggelontorkan limbah via sungai.

 

“Ada izinnya dari Gubernur Papua. Kondisi di sana tidak ada lembah dan ketinggian, karena kalau dibendung takut jebol bahaya sekali, itu dulu soal sungai,” beber pria yang akrab disapa Marpaung ini kepada tambang.co.id, Selasa (23/10).

 

Terkait izin, sambung Marpaung, pihak Kementerian PUPR telah mengetahui dan memberikan rekomendasi atas penggunaan sungai. Rekomendasi tersebut dijadikan pijakan oleh Gubernur Papua kala itu, Barnabas Suebu untuk mengeluarkan izin.

 

Lebih lanjut, secara kondisi geografi, tambang Freeport berada di lokasi pegunungan. Sehingga, kalau tailing ditumpuk di area ketinggian dengan dibuatkan bendungan, maka tumpukan limbah tersebut dikhawatirkan ambrol, dan menenggelamkan daerah rendah di bawahnya. Apalagi, mengingat keadaan geologi di Papua rentan terjadi gempa, yang berpotensi mengganggu daya tahan bendungan.

 

“Dulu tailing-nya cair. Artinya tailing-nya langsung cair dari mill. Kalau disimpan dalam bentuk cairan pakai bendungan, kita khawatir karena daerah gempa. Digetarkan, bendungan pecah, bahaya,” ujar Marpaung.

 

Selain itu, penimbunan tailing di ketinggian juga akan semakin menambah beban apabila terjadi avalanche, suatu aliran lumpur yang apabila runtuh volumenya kian membesar.  Avalanche itu bubur lumpur yang berkarakter seperti longsoran salju.

 

Kata Marpaung, dulu avalanche pernah menimpa Distrik Tembagapura. Dampaknya, hampir sepertiga wilayah Tembagapura tertimbun lumpur.

 

“Dulu pernah secara alam, lumpur itu menumpuk, tiba-tiba meluncur, sepertiga Tembagapura habis. Avalanche adalah bubur salju, makin ke bawah runtuhannya makin besar.  Itu dulu kita khawatirkan, apalagi kalau tailing disimpan di sana,” jelas Marpaung.

 

Untuk diketahui, isu limbah lingkungan ini mulai mencuat ke publik setelah Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melontarkan kesimpulan, Freeport didesak untuk menuntaskan kewajiban lingkungan akibat perubahan ekosistem yang mencapai Rp185 triliun.

 

Nominal tersebut muncul dari Laporan Hasil Pemeriksaan atas PDIT KK PT Freeport Indonesia TA 2013-2015 yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.  Disebutkan, pembuangan tailing Freepot telah menyebabkan hilangnya jasa ekosistem yang nilainya ditaksir mencapai USD13,5 miliar atau sekitar Rp185 triliun. Jumlah tersebut dikalkulasi dari perubahan tutupan lahan yang terjadi dalam kurun waktu 1988-1990 dan 2015-2016.

 

Ketika melakukan pemeriksaan, BPK RI menggandeng para ahli dari Institut Pertanian Bogor, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Nilai paling besar terdampak ialah ekosistem laut yang angkanya menembus USD12,2 miliar.

 

Dalam konteks ini, Marpaung melontarkan kritikan. Dia menuntut, jika potensi hilangnya jasa ekosistem dihitung sebagai kerugian negara, maka BPK perlu mengaudit juga proyek-proyek infrastruktur nasional yang dilakukan dengan menebang pohon. Termasuk pula, proyek pembangunan lapangan golf yang memakan lahan luas dan melahap banyak pohon.

 

“Jasa ekosistem itu yang mana, kalau di situ ada pohon, itu mengeluarkan oksigen, lalu sekarang tidak ada karena ditebang. Itu harusnya lapangan golf mereka tuntut, tutup itu semua. Makanya, metode perhitungannya seperti apa ? Tolong BPK melihat cost and benefit-nya, jangan cuma lihat oh ini pohon trembesi ukuran sekian yang menghasilkan oksigen sekian, hilang. Tidak bisa begini,” ungkap pria yang bergelut di bidang pertambangan sejak tahun 1977 itu.

 

Ia menilai, prinsip cost and benefit perlu dilirik oleh BPK.  Dalam dunia pertambangan, hilangnya jasa ekosistem memang sengaja dikorbankan sebagai cost untuk memperoleh manfaat berupa kemajuan pembangunan. Bahkan Marpaung menyinggung pepatah Jawa untuk mengilustrasikan prinsip tersebut. Jer basuki mawa beya, bahwa untuk meraih kesejahteraan dibutuhkan biaya atau pengorbanan.

 

“Dalam setiap kegiatan pertambangan selalu ada sampai level tertentu kondisi lingkungan yang terkorbankan, itulah cost yang harus dibayarkan tapi in return ada manfaat  yang lebih besar didapat,” tegasnya.

 

Porsi BPK, menurut Marpaung, ialah menghitung berapa kebutuhan yang dikeluarkan sekaligus berapa manfaat yang didapat. Apabila dalam realisasinya, cost and benefit itu tidak sesuai dengan patokan yang dicanangkan, maka itu baru dikatakan sebagai kerugian negara.

 

Pembuangan lewat sungai itu dipilih, atas pertimbangan bahwa masih banyak sungai lain yang terdapat di wilayah Papua. Sehingga, kerusakan pada satu sungai tidak akan berpengaruh secara signifikan lantaran masih ada ratusan sungai lain yang dapat difungsikan untuk kehidupan di lingkungan sekitar.

 

Meski demikian, ia menyadari, badan pemeriksa keuangan di kancah internasional telah menggulirkan aturan, bahwa definisi kerugian negara mengalami perluasan, bukan hanya soal kerugian ekonomi, tapi juga kerugian lingkungan.

 

Terkait hal ini, Marpaung menyarankan agar pemerintah merumuskan semacam ketentuan biaya ganti rugi lingkungan. Misalnya, Freeport dikenai tanggungan USD 10 sen per meter kubik atas pembuangan limbahnya melalui sungai itu.

 

“Wacana charge untuk Freeport ini pernah saya utarakan, tapi tidak ada tanggapan,” tuturnya.

 

Terlepas dari itu, rupanya Marpaung juga mencium adanya aroma kelalaian yang dilakukan oleh Freeport. Pendangkalan laut Arafuru yang berada di depan sungai Ajkway, diduga terjadi akibat limbah tailing milik Freeport yang terbawa aliran hujan.

 

“Memang tidak diizinkan untuk mengalirkan tailing-nya sampai ke laut tapi menimbunnya di dataran rendah, maka untuk mencegah tailing masuk ke laut di beberapa tempat di sepanjang levy dibuatkan cross levy. Pendangkalan laut Arafuru adalah kesalahan Freeport,” terang Marpaung.

 

Soal legalitas pembuangan limbah lewat sungai, Freeport memang punya landasan hukumnya. Tapi secara praktik di lapangan, Freeport melakukan kecerobohan. Endapan-endapan butir pasir tailing yang sangat halus hampir menyerupai tepung itu merembes hingga terjadi pendangkalan laut.