Jakarta, TAMBANG – Komite Teknik Direktorat Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Abdul Rochim memberikan penjelasan soal green diesel. Menurutnya, sorotan utama yang patut diperhatikan ialah terkait harganya yang diprediksi bakal lebih mahal dari biodiesel.
“Harga jual (green diesel) lebih tinggi,” ungkap insinyur lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember itu kepada tambang.co.id, Senin (15/10).
Sebelumnya, Wakil Menteri Archandra Tahar mengatakan, bahwa pemerintah dan Pertamina sedang melakukan kajian perihal potensi penggunaan green diesel, yang digadang-gadang mampu menggantikan posisi bio diesel.
“Dia lebih bagus, segala hal dia lebih bagus, lebih ramah lingkungan,” ujar Arcandra saat dijumpai di kantornya, Jumat (12/10).
Kata Arcandra, bio diesel alias Fatty Acid Methyl Esters (FAME) itu punya karakteristik yang menyebabkan mesin kendaraan jadi korosif. Pasalnya, FAME memiliki sifat yang mudah teroksidasi. Dan kelemahan tersebut tidak ditemukan dalam kandungan green diesel.
Khusus soal tingkat oksidasi dan korosi, Komite Teknik EBTKE, Abdur Rochim membeberkan bahwa green diesel memang lebih baik. Green diesel diolah melalui proses hydrogenasi palm oil. Tidak seperti bio diesel, di mana pengolahannya melalui proses oksigenasi palm oil, yang membawa dampak pada tingginya kadar oksidasi.
Kaitannya dengan harga jual, salah satu alasan yang membuat green diesel diprediksi akan dibanderol lebih mahal dari harga biodiesel, ialah karena proses produksinya menggunakan hidrogen.
“Hydrogenasi dia masaknya pakai hidrogen. Karena proses pengolahannya yang menggunakan hidrogen itu lebih mahal,” beber Rochim.
Catatan lainnya, sambung Rochim, green diesel hanya bisa diprodksi oleh perusahaan-perusahaan pemilik kilang besar, seperti Pertamina atau Wilmar Group. Sedangkan produsen berbasis Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang biasa mengolah FAME, tidak akan mampu memproduksi green diesel.