Jakarta, TAMBANG – Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta perusahaan tambang mineral untuk mulai menjajaki penggunaan produk penunjang operasional yang dibuat di dalam negeri.
Seruan tersebut ditujukan untuk menggenjot nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada alat pertambangan.
Pelaku usaha diimbau agar menginventarisir kebutuhan pengadaan alat selama setahun mendatang. Kemudian, setiap item barang ditulis dengan mencantumkan besaran nilai persentase TKDN dan sertifikasi dari pihak penyurvei.
Kepala Seksi Bimbingan Pengelolaan Barang Operasi Usaha Mineral Kementerian ESDM, Putu Kambium Prasaba menuturkan, program TKDN di sektor tambang merupakan agenda turunan dari Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2018 tentang peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
Melalui aturan itu, Pemerintah ingin menekan angka impor barang, termasuk pengadaan barang di sektor pertambangan. Diharapkan kebijakan tersebut dapat berkontribusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, serta menekan defisit neraca perdagangan akibat tingginya ketergantungan impor.
“Perusahaan tambang nanti memasukkan produk yang sekarang masih impor, dan memilah mana yang sekiranya bisa didapat dari dalam negeri. Sejauh ini, target kita masih mencari data dulu,” tutur Putu saat ditemui dalam agenda sosialisasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri di Bogor, Jumat (26/7).
Menurutnya, data barang dengan nilai TKDN akan mulai dilaporkan oleh perusahaan tambang kepada Pemerintah lewat lampiran Rencana Kerja Dan Anggaran Biaya (RKAB), yang disetorkan tahun ini.
Formatnya, kolom pengisian pada RKAB yang sudah ada ditambahkan lagi dua kolom baru. Masing-masing untuk persentase TKDN barang, dan untuk kualifikasi tersertifikasi dari Sucofindo atau Surveyor Indonesia.
Meski demikian, Pemerintah masih memberi kelonggaran. Kalau ada produk yang belum memiliki kualifikasi nilai TKDN, maka kolom tersebut boleh dibiarkan kosong.
“Untuk RKAB tahun ini kita submit. Format tetap yang sama, hanya ditambahkan sendiri dua kolom. Cukup masukkan real berapa yang kita mampu. Kalau ada yang kosong, itu tidak jadi pelanggaran dalam RKAB. Apakah semua vendor sudah punya nilai TKDN? Saya rasa belum, tapi setidaknya kita mulai jalan,” tutur Putu.
Adapun pengerjaan kualifikasi penilaian TDKN pada suatu produk, bukan dibebankan kepada perusahaan tambang, tapi dibebankan kepada vendor masing-masing produk. Perusahaan tambang yang statusnya sebagai pembeli, cukup meminta data nilai TKDN kepada vendor, yang statusnya adalah penjual.
“Jadi perusahaan tambang hanya menerima saja dari vendor. Tugas perusahaan tambang hanya mendesak vendor agar segera melakukan penilaian TKDN produknya,” ungkap Putu
Pola demikian mengikuti cara kerja kualifikasi International Organization for Standardization (ISO). Di lapangan, banyak perusahaan tambang berlomba-lomba mengejar ISO karena didesak oleh pembeli. Tanpa diwajibkan oleh Pemerintah, jika mekanisme pasar sudah mampu membentuk, maka dengan sendirinya standarisasi akan berjalan.
“Kenapa perusahaan mengejar ISO ? Bukan karena disuruh Pemerintah, tapi karena buyer-nya yang meminta. Itu yang mau kita tiru. Perusahaan tambang harus menyuruh vendornya segera bikin nilai persentasi TKDN,” pungkas Putu.