Jakarta-TAMBANG. Para penggagas kode Komite Cadangan Mineral Indonesia (KCMI) berharap Perdirjen No. 569. K/30/DJB/2015 mengharuskan agar semua perusahaan tambang menggunakan Kode KCMI 2011mampu menandingi kode-kode pelaporan asing yang sudah dikenal lebih dulu.
Peluang agar perusahaan tambang mengalihkan model pelaporannya ke kode KCMI masih terbuka lebar lantaran Perdirjen Minerba baru efektif pada April 2017. Itu berarti masih tersisa banyak waktu untuk menyosialisasikan sistem baru ini ke dunia industri pertambangan Tanah Air. Laiknya barang baru, kode KCMI juga mesti menawarkan hal yang tidak dimiliki kode pelaporan lain.
Chairul Nas, pengajar jurusan teknik pertambangan, Universitas Trisakti mengungkapkan kelebihan kode KCMI dibanding yang lain terdapat pada competent person atau orang yang dianggap layak mengerjakan sebuah pelaporan hasil eksplorasi sumber daya dan cadangan mineral.
Secara khusus pada kode KCMI, competent person hanya bisa ditunjuk dan diresmikan oleh komite pengawas dari Perhapi atau IAGI. Hal itu berbeda dengan competent person JORC yang bisa mendeklarasikan dirinya tanpa melalui pengawasan dan penunjukkan dari lembaga resmi.
“Di Austaria seseorang bisa saja menyebut dirinya competent person. Di Indonesia tidak, dia harus melewati prosedur tertentu sebelum akhirnya memegang sertifikat resmi sebagai competent person Indonesia (CPI),” jelas Chairul, Selasa (30/6).
Hal lain yang membedakan adalah kondisi geologi Indonesia yang berbeda dengan Australia ataupun negara lain. Menurut Chairul faktor ini juga menjadi pendukung mengapa profesi CPI sangat dibutuhkan oleh industri pertambangan nasional. Seorang CPI nantinya akan bekerja secara perorangan atau bekerja melalui perusahaan konsultan tertentu. Namun prinsip utamanya adalah CPI harus memegang kode etik dan bekerja dengan indipenden atau tidak memihak.
Sikap indipenden ini memang bisa menjadi sorotan ketika seorang CPI mengerjakan pelaporan sumber daya dan cadangan mineral sebuah perusahaan. Pada dasarnya, perusahaan tambang berwenang memilih siapa CPI yang mereka percayai untuk menyusun data-data tambang milik mereka. Biaya yang dikeluarkan untuk itu pun relatif, tergantung dari besaran proyek dan kompleksitas tambang yang dikerjakan.
“Rerata biayanya Rp 1-2 miliar, itu untuk proyek besar, kalau proyeknya kecil paling sekitar Rp 1 miliar ke bawah. Dana ini untuk mengerjakan laporan termasuk jasa CPI.”
Meskipun begitu, Chairul menjamin bahwa semua CPI yang ditunjuk Perhapi dan IAGI sudah memegang prinsip independensi. Sikap itu merupakan bagian dari prinsip transparansi yang menjadi dasar dibentuknya kode KCMI.
“Apabila ditemukan hasil pelaporan dari seorang CPI yang tidak valid atau memihak, maka sertikat sebagai seorang CPI akan dicabut bahkan dikenai unsur pidana jika dampak kerugiannya sangat besar,” ujarnya.