Jakarta-TAMBANG. Pasokan listrik masih menjadi persoalan penting bagi masyarakat desa-desa tertinggal di Indonesia. Bahkan, ketersediaan listrik pun menjadi salah satu indikator penting untuk mengukur kemajuan sebuah kabupaten maupun desa. Alih-alih mempersiapkan daya saing menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), rasio ketersediaan listrik di daerah-daerah masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.
“Upaya pengadaan listrik desa harus diupayakan secara sungguh-sungguh,” tegas Boedhi di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) yang bertajuk “Energi untuk Rakyat, Pembangunan Elektrifikasi di Daerah Tertinggal,” yang digelar di Jakarta, Senin (2/11).
Menurut Boedhi, kesenjangan rasio elektrifikasi dan pengaliran listrik di Indonesia, antara daerah kota dan desa harus mulai diperkecil, apalagi di daerah-daerah terpecil yang sebagian besar berada di luar Pulau Jawa.
Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI 49 (IKAL 49) mencatat, dari 74.094 desa di Indonesia, ada 39.086 desa yang tertinggal atau sekitar 52,78% dari total desa yang ada. Ketua IKAL 49, Boedhi Setiadjid mengatakan, masyarakat yang belum teraliri listrik kesulitan mendapat akses informasi, tak akan bisa belajar dengan maksimal dan tak dapat menikmati perkembangan teknologi.
Berdasarkan data Bappenas pada 2013, rasio elektrifikasi daerah kota mencapai 94%, sedangkan pedesaan hanya 32%. Berdasarkan data Bappenas tersebut, ketimpangan rasio elektrifikasi Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Rasio elektrifikasi di Thailand, misalnya, sudah seimbang antara kota dengan desa, yakni 99%. Sedangkan rasio ketimpangan elektrifikasi daerah dengan kota di Malaysia hanya berbeda 1,4%, yakni 99,4% dengan 98%. Sementara di Vietnam, rasio ketimpangan elektrifikasi daerah kota dengan desa hanya berbeda 13%, yakni 98% dengan 85%.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) pada Agustus 2014, realisasi elektrifikasi di seluruh Indonesia sudah mencapai 82,37%. Rata-rata setiap provinsi sudah mencapai di atas 50%. Hanya provinsi di Papua yang sistem elektrifikasinya masih 37,48%.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman memaparkan, bahwa saat ini telah terjadi peningkatan penyaluran listrik (rasio elektrifikasi) di Indonesia. Pada Mei 2015 kemarin, tingkat elektrifikasi di Indonesia telah mencapai 85,1%. Rasio elektrifikasi tertinggi masih dipegang oleh Jakarta. Sedangkan rasio elektrifikasi yang terendah adalah wilayah-wilayah perbatasan dan pulau-pulau terpencil.
“Problem pemenuhan elektrifikasi nasional pada dasarnya adalah elektrifikasi di daerah tertinggal,” ungkap Jarman.
Senada dengan Jarman, Direktur Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Faizul Ishom menyebutkan, saat ini rata-rata rasio elektrifikasi di 122 kabupaten daerah tertinggal di Indonesia adalah berkisar di angka 70%, jauh tertinggal di bawah rata-rata rasio elektrifikasi nasional.
“Kita harapkan proses perluasan akses listrik di desa ini bisa cepat dengan pembangunan jaringan tegangan menengah, tegangan rendah dan gardu-gardu distribusi,” tutur Faizul yang juga merupakan anggota IKAL 49.
Menurutnya, saat ini yang diperlukan adalah kebijakan desentralisasi energi, dimana setiap daerah dapat memiliki sumber daya listriknya masing-masing dan mampu mengaliri setiap warganya disana. Faizul menilai, kebijakan ini sangat tepat dijalankan di daerah-daerah pelosok karena setiap daerah dapat mengeksplorasi sumber daya energinya masing-masing tanpa harus terhubung secara langsung dengan jaringan listrik pusat yang justru akan menyebabkan pemborosan energi listrik.
“Manfaat utama dari kebijakan desentralisasi ini dapat meningkatkan rasio elektrifikasi nasional secara drastis karena secara otomatis setiap daerah di pelosok akan mengalirkan listrik ke setiap warganya hingga bahkan ke daerah yang sebelumnya belum teraliri listrik,” tutupnya.