Jakarta, TAMBANG – Transisi Energi merupakan hal yang tak bisa dielakkan. Namun demikian, energi fosil seperti minyak dan gas bumi (migas) masih memiliki peran penting sebelum energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi yang lebih bersih dapat tersedia dan diakses dengan baik oleh semua orang. Pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar memperluas investasi proyek gas bumi dengan mengintegrasikan pasar-pasar di wilayah Asia, Amerika dan Eropa.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji beberapa waktu lalu menegaskan pentingnya gas bumi sebagai sumber energi di masa transisi energi. Menurutnya, transisi energi harus dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan, dan keberlanjutan untuk memastikan transisi berjalan lancar serta ketahanan energi tetap terjaga.
Netralitas karbon sesuai tuntutan global juga diharapkan dapat tercapai dengan peningkatan peranan gas bumi. Oleh karena itu, menurut Tutuka, investasi proyek gas bumi perlu ditingkatkan secara global dengan cara mendorong penggunaan gas bumi yang lebih besar lagi.
Untuk diketahui, Rencana Umum Energi Nasional sebagaimana diatur dalam Perpres No 22/2017 memproyeksikan porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia pada 2050 mendatang sekitar 68,80 persen. Saat ini, porsi energi fosil dalam bauran energi masih sekitar 89 persen, yang terdistribusi atas: batubara 38 persen, minyak bumi 32 persen, dan gas bumi 19 persen.
Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, dalam strategi transisi energi nasional peranan gas bumi menjadi salah satu yang terpenting dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi. Gas bumi dianggap memiliki peran yang terpenting karena jenis sumber energi ini memiliki intensitas karbon yang lebih rendah daripada minyak dan batubara sehingga cenderung lebih bersih.
Namun, sebagai salah satu negara penghasil migas di dunia Indonesia hendaknya tidak gegabah dalam menyusun strategi transisi energi. Pasalnya, kebutuhan energi nasional saat ini masih sangat tinggi dan bahkan menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada 2045 PDB Indonesia akan mencapai USD 29 ribu per kapita per tahun. Artinya, Indonesia akan masuk dalam kategori negara maju karena berada dalam lima besar PDB di dunia.
Oleh karena itu, strategi yang dapat dilakukan saat ini adalah tetap melakukan eksplorasi energi fosil yang ada namun dengan menggunakan teknologi CCUS dan CCS. Komitmen internasional yang ada tentang transisi energi seyogyanya tidak lantas meniadakan migas tetapi tetap berusaha mengurangi emisi karbon. Alhasil, kebutuhan energi nasional tetap dapat terpenuhi.
Satya menjelaskan bahwa hal yang perlu ditekankan dalam transisi energi adalah mencari keseimbangan yang tepat agar produksi migas bisa berjalan dan emisi karbon bisa dikurangi sesuai dengan target pemerintah. Jika aktivitas produksi migas dapat dibarengi dengan penerapan teknologi yang mengurangi intensitas emisi Karbon dan masyarakat sebagai pengguna bahan bakar fosil memiliki kesadaran seperti menanam pohon atau berperilaku hemat energi maka keseimbangan yang diharapkan pun dapat tercapai.
Dalam konteks pengembangan gas bumi, Satya mengingatkan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan sehingga suplai gas bumi dari produsen kepada konsumen di dalam negeri bisa terserap secara maksimal. Jika minim infrastuktur, diperkirakan akan terjadi kelebihan pasokan gas bumi dan kemudian memilih untuk diekspor. Kondisi tersebut dianggap tidak memberikan manfaat terhadap kebutuhan energi nasional.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, secara terpisah mengatakan bahwa transisi energi membutuhkan persiapan dari banyak aspek yang ada. Oleh karena itu, semua hal yang terkait perlu dilakukan secara gradual agar tidak menjadi beban perekonomian dan kehidupan sosial bagi masyarakat pada umunya.
Menurut Komaidi, pemanfaatan gas bumi untuk kepentingan domestik dapat digunakan sebagai jembatan dalam pelaksanaan transisi energi di Indonesia. “Ultimate goal” dari kebijakan transisi energi pada dasarnya adalah upaya mengurangi tingkat emisi, bukan semata-semata hanya mengganti sumber energi fosil dengan EBT. Sebagai sumber energi fosil yang dinilai paling bersih, porsi pemanfaatan gas bumi dalam bauran energi primer secara otomatis akan mengurangi tingkat emisi yang ada pada sektor energi.
Jika ditinjau dari banyak aspek, pilihan untuk pemanfaatan gas bumi sebagai jembatan pelaksanaan transisi energi dianggap sudah tepat. Bahkan gas bumi dianggap dapat menjadi faktor yang relatif menjaga daya saing industri di dalam negeri serta daya beli masyarakat, jika dibandingkan industri sepenuhnya harus beralih menggunakan sumber energi dari EBT. Untuk itu, pemerintah perlu tepat dalam mengimplementasikan kebijakan di sektor gas bumi terkait rencana peningkatan investasi proyek-proyek gas bumi yang ada.
Komaidi berharap, kebijakan yang diterbitkan pemerintah tidak bersifat kontraproduktif terhadap upaya perbaikan iklim investasi dan pengembangan industri gas itu sendiri.