Jakarta,TAMBANG, Meski tengah giat mendorong transisi energi menuju energi bersih, tidak lantas menghilangkan energi berbasis fosil. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebutkan volume kebutuhan minyak nasional untuk energi sampai tahun 2050 diperkirakan akan tumbuh sampai 139%. Dari kebutuhan minyak nasional saat ini sekitar 1,6 juta barel minyak per hari menjadi 3,9 juta barel minyak per hari.
Demikian juga dengan konsumsi gas juga akan naik 6.000 MMSCFD saat ini menjadi 26.000 MMSCFD pada tahun 2050. Ini berarti ada kenaikan hingga 298%. Di samping untuk pemenuhan kebutuhan energi, sumber daya migas juga dibutuhkan sebagai sumber feedstock bagi sektor industri, khususnya petrokimia.
Berangkat dari itulah menurut Dwi perlu dilakukan pengembangan atas cekungan-cekungan hidrokarbon yang belum berproduksi hingga berproduksi. Kemudian yang belum ekonomis menjadi ekonomis. Untuk mewujudkan hal ini, peran investasi di sektor hulu migas menjadi krusial. Apalagi saat ini Pemerintah juga tengah mengejar target produksi minyak 1 juta barel per hari dan 12 BSCFD gas pada tahun 2030 mendatang.
Mantan Dirut Pertamina ini pun meminta dukungan kalangan perbankan nasional untuk membantu dari sisi pembiayaan di sektor hulu migas. Ia menegaskan potensi besar industri hulu migas sejatinya masih cukup baik untuk bisnis perbankan.
“Perlu kita sadari bahwa industri migas adalah industri yang membutuhkan investasi yang besar, high-tech dan berrisiko tinggi. Selain itu, tingkat persaingan antar negara juga tinggi saat ini, terlebih lagi di tengah isu energi baru terbarukan,” tandas Kepala SKK Migas dalam webinar bertajuk “Arah Baru Industri Migas, Peran Perbankan Nasional di Industri Hulu Migas”, Kamis (19/8/2021).
Dwi juga meminta kepada sektor perbankan nasional agar dapat memberikan rate bunga kredit yang kompetitif serta bersaing dengan bank asing. “Struktur investasi yang memiliki jangka waktu lama dapat disikapi sektor perbankan dengan menawarkan rate bunga kompetitif, sehingga bank nasional bisa bersaing dengan bank asing dalam membiayai industri hulu migas,” tambahnya.
Sementara Agus Noorsanto, Direktur Kelembagaan dan BUMN, Bank BRI mengatakan sinergi antara industri hulu migas dengan perbankan nasional sudah dilakukan sejak tahun 2008. “Sejak 2008, sejak BP Migas berdiri, sinergi perbankan dengan industri hulu migas sudah terlihat dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan untuk para KKKS melakukan kerja sama dengan perbankan nasional,” terangnya.
Saat ini menurut Agus, kegiatan hulu migas yang membutuhkan investasi cukup besar. Beberapa prospek yang bisa digarap perbankan nasional antara lain terkait Pencadangan Dana ASR (Abandonment and Site Restoration), Trustee and Paying Agent, Bank Garansi, Alat Pembayaran (Letter of Credit), Rekening Pembayaran dan Penerimaan untuk Transaksi Penyediaan Barang dan Jasa, Rekening Penerimaan untuk Transaksi Jual Beli Minyak dan Gas Bumi, Rekening Khusus DHE SDA, Pembiayaan Proyek Industri Migas, hingga Pembiayaan Industri Pendukung Hulu Migas.
Masih ada lagi prospek yang terkait kegiatan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dari sektor hulu migas. “Ke depannya potensi ini akan semakin besar dan akan menjadi potensi-potensi bagi teman-teman di Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) untuk ikut terlibat,” ujar Agus.
Himbara sendiri berharap peran serta industri perbankan nasional, khususnya bank milik negara, akan semakin meningkat dalam kegiatan di sektor hulu migas Tanah Air.
Sementara itu Mamit Setiawan, Direktur Executive Energy Watch, membeberkan bahwa kendati investasi di sektor hulu migas saat ini mengalami penurunan, tetapi nilainya masih cukup besar yaitu pada tahun 2021 ini ditargetkan mencapai US$ 12,38 miliar.
“Jadi sebenarnya industri hulu migas masih sangat menjanjikan karena nilai investasi yang cukup besar dan signifikan,” tuturnya.
Mamit pun menambahkan, Pemerintah lewat SKK Migas saat ini terus mengupayakan nilai investasi tersebut kian naik dari tahun ke tahun demi mewujudkan target produksi minyak 1 juta barel per hari dan 12 BSCFD gas pada tahun 2030 mendatang. “Ini pastinya akan membutuhkan investasi yang sangat besar,” lanjut Mamit.
Dia pun mengatakan bahwa peluang tersebut tentunya harus bisa dimanfaatkan oleh perbankan nasional terutama Himbara. “Jangan sampai apa yang kita miliki di bumi Indonesia diambil alih oleh bank swasta lain yang akhirnya dilempar ke luar negeri dan memperkaya orang lain. Alangkah lebih baiknya ini dimanfaatkan oleh industri (perbankan) nasional kita dan oleh BUMN-BUMN kita,” tegasnya.