Jakarta, TAMBANG – Pemerintah tengah menyusun sejumlah program untuk menghadapi masa transisi energi salah satunya mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hingga 6,1 Gw pada tahun 2030.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yudo Dwinanda Priaadi dalam pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023 di Jakarta, Selasa (10/10).
Menurut dia, pihaknya telah menyusun Peta Jalan Pengakhiran Dini Operasional PLTU Batu bara sesuai yang dimandatkan Perpres 112/2022. Salah satunya ialah menargetkan pengakhiran dini operasional PLTU batu bara hingga 2030 dengan total kapasitas PLTU batu bara sebesar 6,1 GW untuk mencapai target JETP yakni mencapai puncak emisi 290 juta ton karbon dioksida ekuivalen.
“Agar keandalan sistem energi terjaga, maka ada skenario alternatif seperti pemanfaatan energi terbarukan menggunakan baterai, interkoneksi energi terbarukan Jawa-Sumatera, co-firing PLTU dengan maksimum 10 persen,” ungkap Yudo.
Pengakhiran dini operasional PLTU batu bara juga termasuk pada lima area fokus investasi Just Energy Transition Partnership (JETP). Hal ini disampaikan oleh Paul Butarbutar, Kepala Deputi Sekretariat JETP.
Ia menuturkan selain pengakhiran dini operasional PLTU batu bara, fokus investasi di bawah skema JETP lainnya adalah pembangunan transmisi dan distribusi, energi terbarukan yang bersifat dapat dikontrol dan konstan (dispatchable), variabel energi terbarukan dan rantai pasok, serta program transisi energi berkeadilan.
“Ke depannya, untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi energi terbarukan, PLTU dapat tetap beroperasi dengan porsi energi yang dibangkitkan yang berkurang. Kita juga mendorong investasi industri energi terbarukan, rencananya akan ada dua pabrik yang memproduksi panel surya yang akan beroperasi di kuartal tiga dan kuartal empat tahun depan. Dari berbagai fokus area investasi ini, dibutuhkan USD 95 miliar sampai 2030 dengan fokus paling besar di variable renewable energy (VRE),” jelasnya.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/Bappenas, Ervan Maksum mengungkapkan, transisi energi menjadi salah satu pengubah signifikan (game changer) untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Menurut Ervan, penyediaan energi yang berkelanjutan perlu didorong agar dapat memenuhi pelayanan dasar, menopang kegiatan ekonomi, dan pertumbuhan bangsa yang berkualitas.
“Transisi energi tidak hanya memerlukan implementasi teknologi modern, namun juga membutuhkan dukungan regulasi dan kelembagaan. Melalui transisi energi, kami berharap agar dapat memenuhi komitmen Indonesia kepada dunia di mana penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia mampu mencapai 32%-43% pada tahun 2030 serta target net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat,” ungkap Ervan pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023.
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menekankan pentingnya pengembangan ekosistem energi terbarukan dan memasukkannya ke dalam strategi di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Menurutnya, transisi energi harus diupayakan mencapai target penurunan emisi yang lebih ambisius lewat akselerasi energi terbarukan, dengan menarik lebih banyak pendanaan dari dalam dan luar negeri, dan memanfaatkan pembiayaan transisi energi yang tersedia, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Prioritas transisi energi dan penurunan emisi dalam RPJPN dan RPJMN harus menjadi prioritas para calon presiden, parpol dan calon anggota legislatif yang akan berkontestasi di 2024. Pengakhiran operasional PLTU batu bara yang selaras dengan target Persetujuan Paris, dan transisi energi berkeadilan perlu diusung sebagai agenda politik dan program kerja di sisa waktu pemerintahan sekarang dan pemerintah baru nanti,” jelas Fabby.