Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API menyayangkan keputusan pemerintah, menurunkan porsi Energi Panas Bumi (Geothermal) dalam Rencana Usaha Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027.
“Pergerakan Panas Bumi mengalami hambatan dengan adanya perubahan dari pemerintah. Yang tadinya sustainability energy ke coal (Batu bara),” kata Ketua API, Prijandaru Effendi, saat gathering API di Jakarta, Selasa (8/5).
Seperti diketahui, dalam revisinya, RUPTL tersebut memangkas target Energi Panas Bumi hingga 1.700 MW. Untuk coal, porsinya hingga tahun 2027 tetap menjadi yang terbesar, yaitu 54,4 persen.
Penyusunan RUPTL 2018—2027 menggunakan asusmsi pertumbuhan kebutuhan listrik 6,86 persen per tahun. Sementara dalam RUPTL 2017—2026, menggunakan asumsi pertumbuhan listrik sebesar 8,3 persen.
Masalah-masalah tersebut menurut Prijandaru, akan menjadi salah satu topik pembahasan yang akan diangkat dalam event tahunan Gheothermal Convention and Exhibition (GCE) pada September mendatang. Dalam ajang kumpul stakeholder pembangkit Energi Panas Bumi itu, sejumlah hambatan pengembangan proyek renewable energy diuraikan. Mulai dari sisi investasi, regulasi hingga teknologi.
Sementara itu, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengatakan, meski dipangkas, Energi Panas Bumi menempati posisi prioritas dari energi baru terbarukan lainnya.
“Portofolio saya ya Energi Panas Bumi, kedua hydro, ketiga biodiesel. Investasi EBT dari Rp28 triliun, kita berharap dari Energi Panas Bumi seebsar 60 persen,” jelas Rida di hadapan pengusaha Energi Panas Bumi itu.
Hambatan lain yang cukup disorot ialah soal resistensi masyarakat. Rida mendorong para pelaku Panas Bumi lebih gencar melakukan sosialisasi kegiatan positifnya. Tentu, agar masyarakat tahu bahwa Energi Panas Bumi bukanlah energi yang merusak lingkungan.
“Agar hal yang menyangkut sosialisasi tempatkan diagendakan nomor satu. Tolong setiap kegiatan dengan masyarakat jangan sampai terganggu, kalau bisa ajak mereka jadi bagian kita,” pesan Rida.
Di lain pihak, Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE, Ida N Finahari menjelaskan, tentang upaya pemerintah dalam menanggulangi resistensi sosial itu. Khusus soal Baturadenn, Ida menyebut sudah tidak ada masalah lagi di kalangan akar rumput.
“Kami intens komunikasi dengan pemerintah daerah, dari Bupati hingga Lurah. Sudah tidak ada masalah lagi di sana,” ucap Ida.
Saat ditanya, apakah benar teknis eksplorasi Panas Bumi perlu merubah struktur tanah di sekitar lokasi ? Baik Ida ataupun Rida menangkis hal tersebut. Sebab Energi Panas Bumi itu sangat bertumpu pada air, dan air sangat bergantung pada kondisi pepohonan di sekitar lokasi. Jadi tidak mungkin eksplorasi Energi Panas Bumi justru merusak lingkungan.
“Namun, memang diakui, dalam prakteknya ada proses pembukaan lahan. Tapi pembukaan lahan itu bukan menebang pepohonan begitu saja. Perusahaan pengembang akan melakukan reboisasi dari setiap pohon yang ia tebang,” kata Ida.