Jakarta, TAMBANG – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis Peta Jalan Strategis untuk percepatan implementasi bioetanol di Indonesia. Pembuatah Roadmap energi bersih ini dibantu oleh tim riset Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan didukung oleh US Grains Council (USGC).
“Saya ingin mengucapkan terima kasih atas inisiasi tim riset ITB untuk membuat kajian peta jalan percepatan implementasi Bioetanol, semoga kolaborasi ini terus berjalan baik sehingga program bioetanol ini bisa sesuai harapan,” ujar Direktur Bioenergi, Kementerian ESDM, Edi Wibowo dilansir dari keterangan resmi Jumat (9/12).
Kajian peta jalan yang mulai disusun sejak 2021 dilakukan guna mendukung program implementasi penggunaan Bioetanol pada bahan bakar kendaraan bermotor dan mempersiapkan industri Bioetanol di Indonesia.
Edi mengungkapkan, saat ini total produksi bioetanol fuel grade baru mencapai 40.000 KL per tahun, atau jauh di bawah kebutuhan 696.000 KL per tahun untuk pengimplementasian tahap awal di daerah Jawa Timur dan Jakarta.
“Pasokan yang tersedia dari PT Enero dan PT Molindo sebagai produsen bioetanol fuel grade baru dapat memasok sekitar 5.7% saja kebutuhan Jawa Timur dan Jakarta. Artinya dari sisi supply harus ditingkatkan,” jelas Edi.
Pencampuran bioetanol sebelumnya telah diuji coba dengan kandungan 2% (E2) di Jawa Timur pada tahun 2018, namun hasil menunjukan harga BBM campuran bioetanol masih sedikit diatas harga BBM non-PSO.
“Namun, dengan meningkatnya harga BBM dan pentingnya upaya peningkatan ketahanan energi, re-introduksi BBM campuran bioetanol kembali menjadi isu strategis,” pungkasnya.
Pakar bioenergi ITB, Tatang Hernas Soerawidjaja mengapresiasi langkah Presiden dan menyatakan campuran bioetanol dapat menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia.
Apabila kita mengambil contoh kesuksesan penggunaan substitusi impor diesel dengan program Biodiesel, maka kita juga dapat mengurangi tekanan impor bensin yang jauh lebih besar porsinya dibandingkan bahan bakar jenis diesel,” kata Tatang.
Hasil riset ITB menunjukkan Indonesia telah menghemat devisa sebesar USD 2.6 milyar dari substitusi impor diesel melalui program Biodiesel kelapa sawit. Di sisi lain, laporan ITB memproyeksikan Indonesia akan mengimpor hingga 35.6 juta kiloliter pada 2040 atau hampir dua kali lipat dari jumlah impor bahan bakar minyak tahun 2021.
Bahwa penggunaan bioetanol sebagai bahan campuran BBM dapat menurunkan impor BBM jenis bensin, menurunkan polutan emisi kendaraan, dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol.
Manfaat lain bioetanol juga adalah potensi pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43% termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5 dan meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.
Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan sebesar (RON) 128, sehingga pencampuran dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM.
Meskipun bioetanol memiliki potensi besar, masih terdapat tantangan dalam pengimplementasiannya sebagai campuran bensin utamanya rendahnya produksi bioetanol di Indonesia.