JAKARTA, TAMBANG – PLN berkomitmen untuk terus mendongkrak porsi bauran Energi Baru Terbarukan (EBT). Hal ini dilakukan demi menekan angka impor Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit EBT di Indonesia.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menjelaskan, program konversi PLTD ke EBT dibagi menjadi dua tahap. Pertama, PLN akan mengkonversi PLTD yang tersebar di beberapa titik di Indonesia sampai dengan 250 Megawatt (MW).
“Nantinya, PLTD ini akan diganti menggunakan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya-red) baseload. Artinya ada tambahan baterai agar pembangkit bisa nyala 24 jam. Saat ini kami sedang melakukan lelang dalam satu dua bulan ini. Saat ini sudah ada 160 peserta yang eligible,” kata Darmawan dalam keterangan tertulisnya, (31/1).
Menurut Darmawan, dalam lelang ini PLN membebaskan spesifikasi baterai yang akan dipakai oleh peserta. PLN mengedepankan para peserta bisa meningkatkan inovasi sehingga tercipta baterai yang efisien dan punya keandalan operasi.
“Jadi teknologi mana yang paling andal dan efisien yang paling bagus. Jadi itu yang menang. Ini membangun inovasi,” papar Darmawan.
Dengan konversi ke PLTS dan baterai, kapasitas terpasang di tahap pertama bisa mencapai sekitar 350 MW. Sehingga bisa mendongkrak bauran energi terbarukan dan penambahan kapasitas terpasang pembangkit secara nasional.
Tahap kedua, kata Darmawan, PLN akan mengkonversi PLTD sisanya sekitar 338 MW dengan pembangkit EBT lainnya, sesuai dengan sumber daya alam yang menjadi unggulan di daerah tersebut dan keekonomian yang terbaik.
Untuk rencana konversi ke pembangkit berbahan bakar gas, PLN juga bekerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dalam upaya konversi ini. Beberapa PLTD yang tahun ini juga digarap bersama PGN mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). Program gasifikasi ini menyasar daerah terpencil.
“Kita juga bisa memakai opsi untuk menginterkoneksikan kepada sistem transmisi terdekat yang lebih besar sehingga masyarakat tetap bisa menikmati listrik yang andal,” ungkapnya.
Darmawan juga menjelaskan proyek ditargetkan akan rampung pada 2026 mendatang. Dia berharap, sekitar 2.130 titik PLTD yang ada saat ini, bisa terkonversi ke pembangkit energi bersih ataupun koneksi ke grid.
Seiring dengan perkembangan teknologi, Darmawan meyakini biaya produksi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia bakal semakin kompetitif dibandingkan dengan pembangkit fosil.
Hal ini bisa dilihat dari terus turunnya harga PLTS dan baterai. Pada tahun 2015 harga PLTS dipatok USD 25 sen per kilowatt hour (kWh). Namun saat ini, harga PLTS mampu ditekan berkisar USD5,8 sen per kWh, bahkan dengan tren saat ini dapat turun dibawah USD 4 sen per kWh.
Sedangkan untuk baterai, hari ini harganya mencapai USD 13 sen per kWh yang dulunya sempat di angka USD 50 sen per kWh. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80 persen.
Diketahui, harga rata-rata paket baterai tipe Li-ion pada tahun 2020 mencapai 137 USD/kWh yang dulunya sempat di angka 668 USD/kWh pada tahun 2013. Angka tersebut juga mengalami penurunan biaya hampir 80 persen. (“Sumber: BloombergNEF”).
“Perkembangan teknologi dan inovasi mampu menekan mengurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab dilema antara energi bersih tapi mahal atau energi kotor tapi murah. Ini bisa dijawab, bahwa dalam kurun waktu energi bersih dan murah bisa dicapai,” tandasnya.