Jakarta,TAMBANG,- Bagi sebagian kalangan dorongan untuk melakukan transisi energi dari berbasis fosil ke energi ramah lingkungan sering dinilai berisiko terhadap ketahanan energi nasional. Hal ini terjadi karena energi baru dan terbarukan masih minim dikembangkan karena berbagai alasan. Di sisi lain, selama ini energi berbasis fosil masih dominan sebagai sumber energi.
Namun ada fakta lain yang juga harus dilihat. Energi berbasis fosil dinilai memiliki tingkat sensitivitas tinggi terhadap konflik geopolitik. Itu yang terjadi saat ini ketika konflik Rusia dan Ukraina. Situasi tersebut memberikan tekanan terhadap ketersediaan energi di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi bagi negara-negara G20. Untuk itu, transisi energi diharapkan menjadi salah satu terobosan penting dalam menopang fondasi ketahanan energi.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji dalam G20 event series: Maintaining Energy Security During The Energy Transition di Jakarta, Rabu (20/4). Tutuka menekankan pentingnya peran anggota G20 untuk fokus pada transisi energi yang harus dilakukan secara komprehensif dan hati-hati dalam berbagai tahapan dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan dan keberlanjutan.
“Ini krusial bagi anggota G20 untuk melakukan tindakan nyata dalam meningkatkan mekanisme mitigasi dan pasokan energi yang tangguh, termasuk di negara-negara berkembang yang sangat terpengaruh oleh kenaikan harga energi baru-baru ini,” jelas Tutuka.
Rantai pasokan energi yang aman dan tangguh, lanjut Tutuka, bagi semua sumber energi yang tersedia sangat penting dalam menjaga ketahanan energi di masa depan serta mencapai target Net Zero Emission (NZE). Kondisi ini dibantu dengan keterlibatan semua pihak melalui kerja sama global hingga pada level penerapan teknologi bersih yang inovatif, seperti Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization Storage (CCS/CCUS).
Mengantisipasi kondisi tersebut, Indonesia menetapkan Peta Jalan NZE 2060 melalui Grand Startegi Energi Nasional (GSEN)sebagai bentuk startegi jangka panjang. “Kami berupaya menyeimbangkan transisi energi bersih dengan ketahanan energi nasional. Untuk memastikan itu, diperlukan kebijakan dan investasi pendukung yang tepat,” tegas Tutuka.
Sementara Chair of ETWG G20 2022 Yudo Dwinanda Priadi menekankan pentingnya ketahanan energi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan. “Ketahanan energi menjadi kunci untuk mewujudkan transisi energi yang adil dan merata, yang bertujuan untuk mencapai peningkatan aspek sosial-ekonomi dan pembangunan, sekaligus mengentaskan kemiskinan dan melindungi mereka yang terkena dampak transisi,” ungkapnya.
Menurut Yudo, sebagai negara kepulauan dan emerging economy, ketahanan energi bagi Indonesia erat kaitannya dengan kebutuhan dasar kita, strategi dan perencanaan jangka panjang, serta upaya besar-besaran untuk menyediakan akses energi yang berkelanjutan bagi semua, termasuk di daerah terpencil dan masyarakat yang terpinggirkan.
Kondisi pasar energi global saat ini merupakan tantangan bersama bagi masyarakat internasional, terutama negara G20. Para anggota bertanggung jawab menstabilkan kembali pasar dan harga energi, meningkatkan infrastruktur modern, efisiensi dan berkelanjutan. Kendati begitu, G20 mesti tetap membutuhkan sinergi dari Organisasi Internasional seperti IEA, OPEC, lembaga keuangan global, dan lainnya.
“Jika gejolak ini tidak dapat dimitigasi dan dimediasi dengan baik, kami tidak akan melangkah maju untuk mengaktualisasikan kerjasama energi dengan visi yang lebih besar dari ketahanan energi yang dibahas dalam Naples Principles,” tutup Yudo