Jakarta, TAMBANG – Ketua Umum Indonesia Mining Institute, Irwandy Arif memprediksi, permintaan batu bara di Indonesia masih menggeliat tahun ini. Indikasi utama tercermin dari kapasitas besar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di China, yang bakal menggenjot permintaan batu bara dari Indonesia.
“(Pembangkit listrik) batu bara China hampir 1 juta megawatt, disusul Rusia, masih banyak. Ada 25 negara merencanakan PLTU batu bara di Asia,” tutur Irwandy dalam diskusi Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) bertajuk Outlook Energi dan Pertambangan 2019, di Jakarta, Kamis (17/1).
Terkait produksi batu bara nasional, Irwandy memperkirakan jumlahnya tahun ini bakal mengalami penurunan dari tahun lalu. Di 2018, tercatat pengerukan batu bara menyentuh angka 528 juta ton, melebihi target yang dipatok sebelumnya 485 juta ton. Dengan adanya pembatasan produksi, tentu akan berdampak pada stabilitas harga.
“Produksi kemarin sampai 500 (juta ton) lebih, di RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) sekarang, saya dengar akan dibatasi ke 400 juta,” ungkap Irwandy.
Demi menjaga harga di pasar terus menguat, Irwandy berpendapat, pemerintah tidak perlu ikut mengatur harga penjualan batu bara nasional. Harga yang dimaksud, ialah patokan Domestic Market Obligation (DMO) khusus kelistrikan. Banderol harga yang dipasang USD70 per ton dengan kadar 6.322 kcal, diminta untuk dihapus.
“Pemerintah jangan ikut intervensi harga, itu mengganggu. Lebih baik cari solusi lain,” ujar Irwandy.
Solusi lain yang juga sempat bergulir, adalah iuran sebagai pengganti patokan harga murah DMO, yang sejatinya dicanangkan untuk menanggung beban Perusahaan Listrik Negara. Opsi ini punya cara implementasi, setiap ton batu bara yang diproduksi, dikenai potongan untuk iuran. Potongan itu bisa dihitung dengan acuan misalnya, USD2 dolar per ton dengan kadar 6.332 kcal.
Lalu iuran itu disumbangkan kepada PLN untuk menambal selisih harga batu bara, dari yang dicanangkan PLN dengan harga yang beredar di pasaran