Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batu bara Indonesia (ASPEBINDO) mendorong semua stakeholder untuk menciptakan ekosistem bisnis di industri energi. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum ASPEBINDO, Anggawira dalam Webinar bertajuk “Harga Batu bara Semakin Membara, Bagaimana Prediksi di Tahun 2024?” pada Selasa (12/12).
Dia menyampaikan pentingnya kolaborasi antar berbagai pemangku kepentingan untuk mewujudkan ekosistem bisnis dari berbagai kalangan, khususnya negara-negara maju yang bisa mengoptimalkan sumber daya alam utamanya di bidang energi.
“Kami dari ASPEBINDO, dengan semangat kolaborasi terus mendorong terciptanya ekosistem bisnis yang bisa saling menopang khususnya di sektor energi. Ini adalah salah satu upaya ASPEBINDO membuka komunikasi dari berbagai stakeholder karena negara maju adalah negara yang mampu mengoptimalkan sumber daya alamnya,” ungkap Anggawira.
Muhammad Puri Andamas selaku pelaku usaha, dalam paparannya menyampaikan tantangan yang dihadapi dalam industri batu bara. Kata dia, penjualan batu bara lokal lebih kecil dari penjualan ekspor, sehingga dibutuhkan langkah dan strategi untuk meningkatkan harga lokal.
“Signifikansi penjualan batu bara kita di lokal tidak jauh lebih baik dari luar, untuk ekspor. Sehingga kita perlu langkah-langkah untuk menyusun strategi agar konsumsi meningkat dan harga demand bisa kompetitif dengan ekspor”, ujarnya.
Sementara itu, General Manager Marketing PT Kaltim Prima Coal (KPC), Rahmad Desmi Fajar, mengungkapkan hal penting selain dari dukungan pemerintah untuk industri batu bara yaitu produsen disiplin.
“Saya kira yang terpenting selain dari dukungan pemerintah yang kondusif untuk industri batu bara adalah produsen disiplin. Jadi, ketika tidak disiplin dalam produksi tanpa memperhatikan perkembangan harga dalam jangka waktu pendek harga akan terus meluncur jatuh. Sehingga para produsen batu bara dapat survive dengan kondisi tersebut”, tutur Rachmad.
Hal tersebut, disorot oleh Ari Wimbardi Wirawan selaku pengguna, beliau mengharapkan kestabilan harga dan supply pada produsen batu bara sehingga tidak terjadi kelangkaan di pasar.
“Kami sadar memang untuk ekspor lebih tinggi harganya, tentu lebih menguntungkan bagi para suplayer batu bara untuk ekspor marketnya daripada domestik marketnya. Tapi industri semen juga merupakan suatu industri yang dibutuhkan masyarakat banyak”, ujarnya.
Berly Martawardaya selaku pengamat, memaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi harga batu bara, salah satunya adalah geopolitik stabil with hot spot di Gaza dan Ukraina.
“Produksi meningkat, demand menurun, exces dan penned-up menurun, decoupling and re-shorting from China continue, geopolitik stabil with hotspot di Gaza dan Ukraina, transisi ke renewable masih fase awal, dan prediksi harga coal 2024: USD 110-130”, tegasnya.
ASPEBINDO sendiri terus mendukung pemanfaatan sumber daya alam terutama di bidang industri yang harus lebih diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini, bisa menjadi salah satu langkah Indonesia lebih maju.
Untuk diketahui, Webinar yang diselenggarakan dalam rangka IMEC ke-2 ASPEBINDO ini menghadirkan pelaku usaha, pengamat energi, dan juga pengguna, yaitu CEO Nexis Energi Investama (Bomba Group Mining Holding) Muhammad Puri Andamas, Kepala Peneliti INDEF Berly Martawardaya, General Manager Marketing PT Kaltim Prima Coal (KPC) Rahmad Desmi Fajar, dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Semen Indonesia, Ari Wimbardi Wirawan.