Jakarta, TAMBANG – Komisi VII DPR RI, Mulyanto menyebut pertambangan tanpa izin (PETI) sudah menjadi masalah serius dan momok menakutkan pada industri tambang. Aktivitas ilegal mining ini merugikan banyak aspek, termasuk mengancam program hilirisasi yang digencarkan pemerintah.
Menurut dia, tambang ilegal nikel Blok Mandiodo di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara menjadi salah satu bukti mandeknya proses hilirisasi nikel. Apalagi dikuatkan dengan adanya sejumlah badan usaha yang mengimpor mineral logam keperak-perakan itu dari Filipina untuk kembali diolah.
“Jadi isu itu (PETI) menghimpit sehingga menemukan permasalahan nyata, contoh di Blok Mandiodo. Izinnya ada tapi tidak digali dan nambang di tempat lain, ilegal kan. Mau hilirisasi kok malah impor, gak masuk akal, itu bukan hilirisasi namanya. Jadi semrawut,” ujar dia dalam sebuah diskusi bertema Penanganan Tambang Ilegal Jelang Pemilu 2024, di Jakarta, dikutip Sabtu (9/12).
Menurut Mulyanto, aktivitas PETI juga mengancam program lanjutan dari hilirisasi, yaitu industrialisasi yang menjadi impian semua negara berkembang. Karena itu dia juga berharap ke depannya tidak saja bijih yang dilarang ekspor, tapi semua produk antara agar bisa diolah lagi menjadi barang jadi.
“Ketika hilirisasi semakin kuat, walaupun kami ingin hilirisasi yang makin berkualitas atau tidak setengah hati, janganlah diekspor lagi nikel, feronikel. Sudah lah jangan lagi hilirisasi tapi industrialisasi. Kita bangun dari hulu ke hilir nilai tambah ini,” beber dia.
Di sisi lain, aktivitas ilegal mining juga dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada lingkungan, mengancam keberlanjutan sumber daya alam yang seharusnya menjadi modal utama untuk proses hilirisasi. Karena itu, dibutuhkan proses pelayanan perizinan dan pengawasan yang ketat.
“Setelah kami dalami, persoalan itu terletak di perizinan dan pengawasan. Itu saja. Termasuk perizinan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang menjadi 3 tahun apakah menjadi baik karena mudah atau mudah melakukan penyimpangan lagi, Itu poinnya,” tegas Mulyanto.
“Kita berikan izin maka kita harus mengawasi. Pengawasannya mau seperti apa? Apalagi menjelang tahun politik semakin ramai karena kita banyak pertambangan,” pungkas Mulyanto.
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Pertambangan Abrar Saleng menyatakan bahwa dibutuhkan aksi nyata untuk memberantas PETI ini. Jika penanganan para pengangsir ini lamban, mereka akan terus menjamur dan berubah menjadi mafia tambang.
“Kalau penanganan ilegal mining ini lambat, akan menciptakan namanya mafia tambang. Yang mempercepat mafia tambang itu ikutnya para pengambil kebijakan jadi pemain atau disebut beking, mulai eksekutif, legislatif hingga yudikatif,” beber Abrar.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa keberadaan PETI bukan persoalan baru, sehingga dibutuhkan kerja sama secara serius antar kementerian dan penegak hukum untuk memberantas sampai ke akarnya. Menurut Abrar, keberadaan PETI yang masih eksis hingga sekarang ini disebabkan beberapa hal seperti penindakan yang tebang pilih atau bahkan tidak disentuh oleh aparat.
“Pertama penegakkan hukumnya tebang pilih. Kalau lawan dihajar kalau teman dirangkul meskipun dia sama-sama ilegal. Kedua, ilegal mining marak karena tidak pernah disentuh oleh aparat. Justru yang punya izin diganggu,” ucapnya.
Menurut dia, kasus tersebut misalnya terjadi pada salah satu perusahaan tambang yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Katanya, perusahaan tersebut harus rela merogoh kocek tambahan hingga Rp 8-10 miliar untuk membayar PNBP karena tambangnya digasak PETI.
“Itu terjadi di Kolaka, ada perusahaan tambang yang punya izin dan sudah jadi PSN dan ada smelter. Dia mengeluh dan dia selalu menambah pembayaran PNBP-nya sekitar Rp 8-10 miliar karena wilayahnya digasak oleh penambang penambang ilegal tadi,” pungkasnya.