Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia (Prometindo) menggelar seri diskusi komoditas alumunium secara virtual pada Selasa, (29/3). Hal ini sebagai bentuk dukungan terhadap program pemerintah dalam mewujudkan Grand Strategy Komoditas Mineral dan Batubara (GSKM) pada tahun 2045 mendatang.
Ketua Umum Prometindo, Bowman Situmorang dalam sambutannya menyebut bahwa alumunium sebagai salah satu komoditas yang masuk dalam GSKM merupakan mineral yang sangat penting. Apalagi harga mineral bersimbol Al tersebut mengalami kenaikan pada awal Maret lalu.
“Di Alumunium sedikit menarik, bijih banyak tapi masih impor alumunium. Kendala di besi bahan baku sementara di alumunium ini menarik. Alumunium makin lama maki dicari orang, khususnya buat energi baru terbarukan,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika, Kementerian Perindustrian, Sri Bimo pratomo menyebut bahwa alumunium memiliki peranan penting, terutama untuk kendaraan listrik.
“Pada masa sekarang sangat dibutuhkan material yang kuat tapi ringan. Nah ini ada di aluminium. Aluminium memegang peranan penting sekali termasuk dalam kendaraan listrik karena yang ringan,” ungkap Bimo.
Bimo kemudian menyampaikan bahwa per tahun 2022, umur cadangan bauksit sampai 78,9 tahun. Hal ini menurutnya bisa menutupi kebutuhan alumunium dalam negeri jika proses hilirisasi ditingkatkan secara serius.
“Kita masih mengeskpor bauksit. Tapi pak Jokowi kemarin mau mengehentikan. Umur cadangan bauksit Indonesia dihitung mulai tahun 2022 sampai 78,9 tahun. Saat ini kami sedang mengatur tata kelola smelter,” jelasnya.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), diwakili Dedi Supriyanto mengatakan bahwa kebutuhan alumunium di masa depan akan meningkat terutama untuk bahan baku industri energi bersih.
“Renewrable industry masih akan menjadi trend global dan akan memerlukan pasokan komoditas alumunium dalam jumlah yang signifikan,” ungkapnya
Dia kemudian menyebut bahwa saat ini kebutuhan alumunium domestik mencapai 1 juta ton per tahun. Sementara produksi hanya mencapai 250 ribu ton pertahun.
“Kebutuhan alumunium Indonesia sebesar 1 juta ton dan produksi alumunium di Indonesia hanya sebesar 250 ribu ton sehingga dibutuhkan impor alumunium sebesar 748 ribu ton,” bebernya.
Adanya gap antara supply and demand ini menurut dia lantaran tungku pengolahan dan pemurnian (smelter) alumunium masih terbatas. Padahal cadangan bijih bauksit terbilang cukup melimpah, khususnya di Kalimantan Barat.
“3 pabrik pengolahan dan pemurnian bauksit yang telah beroperasi adalah PT Inalum, PT ICA dan PT WHW. 11 pabrik pengolahan dan pemurnian bauksit dalam tahap konstruksi akan memproduksi SGA (Smelter Grade Alumina). Adapun 1 smelter dalam perencanaan, milik PT Inalum, direncanakan memproduksi alumunium ingot dan billet,” jelasnya.
Turut hadir dalam diskusi, General Manajer Unit Bisnis Pertambangan Bauksit Kalimantan Barat PT Antam, Anas Safriatna dan Direktur PT Bintan Alumina Indonesia, Santony.