Beranda ENERGI Energi Terbarukan Untuk Sektor Energi Rasio Pinjaman Bank Mandiri Hanya 15%

Untuk Sektor Energi Rasio Pinjaman Bank Mandiri Hanya 15%

Rohan Hafas berdiri paling kiri bersama petinggi perusahaan geothermal dan biomassa

Nusa Dua-TAMBANG. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebagai salah satu bank BUMN terbesar ternyata belum berani memberikan pinjaman besar pada sektor energi. Tahun ini rasion pinjaman dari Bank Mandiri kepada investor yang bergerak di sektor energi hanya maksimal 15%.

 

Sekretaris Perusahaan Grup Mandiri, Rohan Hafas mengatakan Mandiri merupakan bank yang memiliki aset terbesar, jumlahnya mencapai Rp 1000 triliun. Sementara itu modalnya sebesar Rp 100 triliun, batas maksimum pinjaman yang bisa dipakai hanya sebesar 20% dari modal atau sebesar Rp 20 triliun. “Dari jumlah itu pembiayaan untuk sektor energi hanya 15 persen,” kata Rohan kepada Majalah TAMBANG, dalam forum ISES 2015, Kamis (11/6).

 

Sementara kemampuan bank swasta atau BUMN saat ini berada di bawah pinjaman yang bisa diberikan oleh Bank Mandiri. Terkait dengan hal itu, Rohan secara terang-terangan mengungkapkan, perbankan dalam negeri akan sangat kesulitan untuk membiayai megaproyek kelistrikan nasional yang digagas pemerintah dengan total 35.000 MW selama lima tahun ke depan.

 

Dalam perhitungannya, Rohan mengungkapkan, seluruh proyek itu membutuhkan dana sekitar Rp 600 triliun atau sekitar Rp 120 triliun per tahun. Jadi, walaupun semua perbankan digabungkan untuk memberikan kredit pada sektor energi, tetap tidak mencukupi kebutuhan dana investasinya.

 

Rohan memaparkan, salah satu cara yang bisa ditempuh saat ini adalah dengan mengharapkan bantuan modal dari pemerintah. Selain itu, para investor di sektor energi juga bisa mulai menggunakan harta terpendam (aset) yang mereka miliki sebagai jaminan. Skema ini akan lebih mudah bila investor berasal dari perusahaan BUMN seperti PLN.

 

“Aset terpendam PLN itu besar sekali, sangat memungkinkan jika menggunakan skema itu. Kendalanya cuma satu, pajaknya sangat besar, sekitar 10 persen, itu yang membuat mereka enggan. Sekarang bolanya berada di bawah Kementerian Keuangan untuk mengubah aturan itu,” ujarnya.