Jakarta, TAMBANG – Pemerintah bakal membentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang mengelola pungutan iuran kepada para penambang batu bara. Iuran tersebut digunakan untuk menutup selisih harga batu bara yang ditanggung PT PLN (Persero).
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, pembentukan BLU ditujukan agar krisis batu bara tidak terulang lagi.
Pasalnya, salah satu penyebab krisis batu bara dipicu oleh adanya selisih harga antara pasar domestik dengan pasar ekspor. Sehingga produsen batu bara lebih memilih ekspor dibanding memasok ke PLN.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, pemerintah mematok harga batu bara untuk PLN sebesar USD 70 per ton kalori 6.322 kcal/kg atau ekuivalen dengan USD 41 per ton kalori 4.659 kcal/kg. Sedangkan rata-rata harga yang beredar di pasar ekspor yaitu sebesar USD 62 kalori 4.659 kcal/kg.
Nantinya, pemerintah mengatur pembelian batu bara oleh PLN mengikuti harga pasar, kemudian selisihnya ditutup lewat dana yang dikelola BLU.
“Nanti BLU yang bayar pada PLN. PLN membeli secara market price. Jadi tidak ada lagi mekanisme pasar terganggu,” ungkap Luhut di Jakarta, dikutip Selasa (11/1).
Adapun alur pembayaran selisih harga, PLN mengajukan ke BLU setiap akhir bulan setelah mendapatkan invoice. Lalu, PLN membayar ke pemasok batu bara pada H+7 setelah menerima uang dari BLU.
BLU menerima uang iuran dari perusahan batu bara dengan besaran yang akan disesuaikan secara periodik berdasarkan selisih antara harga pasar yang dibeli PLN dan USD 70 per ton.
Perhitungannya, volume kebutuhan batu bara PLN diasumsikan sebesar 120 juta ton per tahun, lalu dikali rata-rata harga pasar sebesar 62 USD per ton, totalnya USD 7,4 miliar. Pembayaran yang riil dikeluarkan PLN, sebanyak 120 juta ton batu bara itu dikali dengan harga USD 41 per ton, yang totalnya USD 4,9 miliar.
Dengan demikian, terdapat selisih sebesar USD 2,5 miliar. Selisih tersebut ditanggung oleh perusahaan tambang batu bara, yang dibagi dengan total produksi batu bara nasional sebesar 650 juta ton, hasilnya USD 3,8 per ton.
Kesimpulannya, asumsi besaran iuran yang mesti dibayarkan penambang batu bara ke BLU ialah sebesar USD 3,8 per ton.
Selain soal BLU dan iuran, Luhut juga meminta agar PLN melakukan kontrak batu bara menggunakan skema Cost, Insurance and Freight (CIF) atau beli batu bara dengan harga sampai di tempat. Bukan menggunakan skema Free on Board (FOB), atau beli batu bara di lokasi tambang.
Metode CIF menetapkan pengaturan logistik dan pengiriman menjadi tanggung jawab supplier batu bara, sedangkan skema FOB membebankan tanggung jawab kepada pembeli.
Artinya, dengan skema ini, perusahaan tambang akan menanggung seluruh kebutuhan selama pengapalan, termasuk pada pembayaran asuransi.
“Jadi nanti PLN tidak ada lagi FOB, semua CIF. Tidak ada lagi boleh PLN trading dengan trader. Jadi semua harus beli dari perusahaan. Saya ulang itu, sudah diputuskan di rapat tadi,” tegasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah membuat kebijakan larangan ekspor batu bara selama periode 1-31 Januari 2022.
Kebijakan ini diambil akibat rendahnya realisasi kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO), khususnya untuk sektor ketenagalistrikan bagi PLTU.