Jakarta, TAMBANG – Proses transisi energi dari energi fosil menuju energi non fosil masih akan menjadi trend global dalam beberapa puluh tahun kedepan. Di Indonesia, salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan memperbanyak Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru Terbarukan ( PLT EBT).
Imbas dari tren ini kebutuhan alumunium ke depan diprediksi akan melonjak. Hal ini lantaran salah satu material untuk membuat pembangkit EBT adalah logam bersimbol Al tersebut.
“Renewrable industry masih akan menjadi trend global dan akan memerlukan pasokan komoditas alumunium dalam jumlah yang signifikan,” kata Dedi Supriyanto mewakili Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral, Kementerian ESDM dalam FGD Series #1 Komoditas Alumunium yang diselenggarakan daring oleh Prometindo, Selasa (29/3).
Menurut Dedi, rencana penambahan PLT EBT di Indonesia sampai 2045 mencapai 74,8 Gigawatt (Gw). Sehingga estimasi kebutuhan logam alumunium untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pada tahun tersebut mencapai 623 ribu ton.
Kebutuhan alumunium Indonesia menurutnya sebesar 1 juta ton per tahun sementara produksi hanya mencapai 250 ribu ton pertahun. Sehingga dibutuhkan impor alumunium sebesar 748 ribu ton per tahun.
“Kebutuhan alumunium Indonesia sebesar 1 juta ton dan produksi alumunium di Indonesia hanya sebesar 250 ribu ton sehingga dibutuhkan impor alumunium sebesar 748 ribu ton,” bebernya.
Adanya gap antara supply and demand ini menurut dia lantaran tungku pengolahan dan pemurnian (smelter) alumunium masih terbatas. Padahal cadangan bijih bauksit terbilang cukup melimpah, khususnya di Kalimantan Barat.
“Supply demand bauksit Provinsi Kalbar memiliki cadangan bauksit terbesar. IUP pertambangannya sekitar 99 perusahaan tersebar di tiga provinsi, Kepri, Kalbar, 84, Kalteng 9. Produksi bauksit dan alumina sudah ada baik CGA SGA (Chemical Grade Alumina-Smelter Grade Alumina-Red),” ungkapnya.
Dia kemudian menyampaikan bahwa saat ini sudah ada 3 pabrik pengolahan dan pemurnian bauksit yang telah beroperasi yakni milik PT Inalum, PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) dan PT Well Harvest Winning (WHW). Kemudian ada 11 smelter bauksit dalam tahap konstruksi yang akan memproduksi SGA
“Adapun 1 smelter dalam perencanaan, milik PT Inalum, direncanakan memproduksi alumunium ingot dan billet,” jelasnya.
Dia kemudian menjelaskan bahwa produksi bijih bauksit di Indonesia mencapai 26,3 juta ton. Jumlah bauksit yang diekspor sebesar 22,8 juta ton dan bijih bauksit yang disupply dalam negeri untuk pengolahan alumina sebesar 1,74 ton.
Smentara itu, produksi alumina mencapai 1,17 juta ton di mana alumina (SGA dan CGA) di ekspor sebesar 0,99 juta ton (SGA 0,9 juta ton dan CGA 52 ribu ton) dan alumina di supply dalam negeri untuk pemurnian alumunium sebesar 150 ribu ton (SGA) “dan yang langsung ke industri seperti kertas, detergen, kabel dll sebesar 25 ribu ton (CGA),” imbuhnya.
Adapun total sumberdaya bauksit per tahun 2020 mencapai 5,5 miliar ton bijih dan cadangan bauksit mencapai 3 miliar ton bijih. Provinsi Kalimantan Barat memiliki cadangan terbesar di tahun 2020 sebesar 2,3 miliar ton bijih.