Jakarta, TAMBANG – Kebijakan penaikan tarif royalti sektor pertambangan dinilai terlalu mendadak oleh para pelaku usaha timah. Mereka menilai keputusan tersebut tidak memberikan waktu yang cukup bagi perusahaan untuk menyesuaikan strategi bisnis dan keuangan.
“Ini kan tarif royalti ini mau disahkan dalam waktu dekat, tanggal 26 ini. Berita ini terlalu mendadak jadi mengagetkan kita semua,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonsesia (AETI), Harwendro Adityo Dewanto kepada TAMBANG, dikutip Kamis (24/4).
Harwendo mengungkapkan bahwa sejumlah pelaku usaha di sektor pertimahan mengusulkan agar penerapan tarif royalti yang baru dilakukan secara bertahap. Usulan ini disampaikan guna meminimalisir tekanan terhadap operasional perusahaan serta menjaga stabilitas industri di tengah perubahan kebijakan yang dinilai terlalu mendadak.
“Kalau dari kita setuju saja kalau naik mau 10 persen juga kita setuju. Asal kenaikan royalti itu dinaikkan secara bertahap. Kalau kita tahu ada waktu akan dinaikkan, kita bisa persiapan. Kita bisa menyesuaikan operasional kita sehingga operasional kita tidak terganggu,” jelasnya.
Febriany Eddy Resmi Mundur sebagai Presiden Direktur VALE, Kini Jabat Direktur BKI
Kenaikan tarif royalti sektor pertambangan resmi tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Berdasarkan beleid tersebut, aturan ini akan mulai berlaku efektif 15 hari setelah penetapan, yakni pada 26 April 2025—atau dua hari lagi dari sekarang.
Menanggapi hal ini, Harwendro mengungkapkan bahwa pihaknya tidak dilibatkan dalam proses sosialisasi kebijakan tersebut. Ia pun berharap pemerintah membuka ruang dialog dengan para pelaku industri agar dapat ditemukan solusi yang lebih berimbang antara kepentingan negara dan keberlanjutan usaha.
“(kebijakan baru ini) mengagetkan kita semua. Karena sebelumnya Asosiasi Timah itu belum pernah diajak bicara. Yang kita dengar hanya wacana-wacana,” ucap Harwendo.
Selain penerapannya yang dinilai terlalu mendadak, dia juga menyoroti besarnya tarif progresif yang dikenakan terhadap komoditas timah. Dalam kebijakan baru, tarif royalti ditetapkan sebesar 7,5 persen untuk logam timah dengan harga USD 30.000–40.000 per ton, dan melonjak menjadi 10 persen apabila harga logam timah melebihi USD 40.000 per ton.
Padahal, sebelumnya tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk logam timah hanya sebesar 3 persen. Menurut Harwendro, lonjakan tarif ini berpotensi membebani pelaku usaha dan mengganggu daya saing industri timah nasional di pasar global.
“Kita progresif, tergantung harga timah saat ini. Harga timah saat ini 30 ribu. Kalau 30 ribu dinaikkan persentasi royalti itu 7,5 persen. Artinya kenaikan royalti itu dua setengah kali. Tentunya itu cukup mengagetkan kami pengusaha timah di Indonesia,” bebernya.
Berikut rincian tarif royalti logam timah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
