Jakarta,TAMBANG-Indonesia tengah berusaha untuk merealisasikan target penurunan emisi gas karbon dari sektor energi. Untuk dapat mewujudkan target ini harus ada kejelasan Peta Jalan transisi energi nasional. Jika tidak ada peta jalan bukan tidak mungkin target terancam meleset bahkan ancaman disrupsi ekonomi dapat terjadi.
Hal ini disampaikan Ketua Indonesia Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo dalam diskusi media kajian transisi energi bertajuk Mendayung di antara Karang: Bagaimana Indonesia Menghadapi Transisi Energi?, di Jakarta, Rabu (18/8) malam.
Singgih mengatakan sebagai negara penandatangan Persetujuan Paris, Indonesia menghadapi dua pekerjaan rumah yang besar. Sebagai negara berpendapatan menengah, Indonesia perlu mengejar pertumbuhan ekonomi 8% per tahun agar bisa naik menjadi negara berpendapatan maju. Di saat bersamaan harus menekan emisi gas karbon serendah mungkin.
Ia juga menegaskan ketersediaan energi yang memadai menjadi prasyarat utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Saat ini, konsumsi energi final Indonesia sekitar 3,12 BOE/kapita, sedangkan konsumsi listrik 1094 kWh/kapita. Artinya, masih terdapat ruang konsumsi energi untuk tumbuh.
Oleh karena itu, transisi energi di Indonesia harus mempertimbangkan pertumbuhan konsumsi energi di masa depan. Dengan tren dunia menuju ke arah nol emisi karbon, tidak bisa lain, mayoritas pasokan energi ke depan harus berasal dari sumber energi terbarukan. Presiden Joko Widodo dalam pidato HUT ke-76 RI sudah menegaskan lagi komitmen Indonesia untuk mengembangkan energi terbarukan dan ekonomi hijau.
Dalam kajian IMEF, revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menjadi titik krusial dalam transisi energi di tengah upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi karena posisinya sebagai Peta Jalan utama. Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional-yang terakhir disusun tahun 2017- masih berorientasi pada energi fosil.
Hal ini ditandai dengan porsi minyak dan gas bumi, serta batu bara mencakup 77% porsi bauran energi nasional di tahun 2025. Sedangkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) hanya 23%. Hingga tahun 2050 pun, porsi energi fosil masih dominan, yaitu 69%, sedangkan porsi EBT hanya naik menjadi 31%.
Oleh karena itu KEN dan RUEN yang seharusnya menjadi dasar kebijakan energi sudah tidak prospektif sebagai peta jalan untuk mencapai target emisi karbon. Upaya terobosan pemerintah melalui Grand Strategy Energi Nasional (GSEN), perlu diapresiasi. Namun, karena GSEN tidak termasuk dalam nomenklatur perundangan, perlu diformalkan atau diadopsi substansinya ke dalam revisi KEN dan RUEN.
Dalam Panel ahli IMEF mencatat setidaknya ada empat poin penting yang perlu dipertimbangkan sebagai masukan kepada pemerintah dalam revisi KEN dan RUEN. Pertama, kompatibilitas dengan target Persetujuan Paris; kedua, keseimbangan antara ketahanan energi, ekuitas energi, dan keberlanjutan lingkungan; ketiga, pengelolaan sumber daya energi fosil (migas, batu bara) sebagai modal pembangunan, bukan lagi sekadar sumber penerimaan negara; dan keempat, kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju pertumbuhan ekonomi rendah karbon (low carbon economy growth).
Catatan lainnya adalah sumber energi, baik fosil maupun terbarukan, dalam periode transisi tersebut harus saling menopang, bukan saling meniadakan dalam peta jalan transisi energi nasional. Porsinya dalam bauran energi nasional harus merepresentasikan perannya di setiap tahap peralihan.
Ahli Geologi IMEF Andang Bachtiar mengatakan cara berpikir sumber daya energi fosil sebagai sumber penerimaan negara masih melekat kuat di pemerintah. Bentuk ambigu yang paling jelas adalah angka produksi minyak dan gas bumi maupun harga patokan Indonesia Crude Price (ICP) masih tetap digunakan sebagai indikator utama dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Padahal dengan cadangan gas yang 2-3 kali lipat daripada cadangan minyak bumi (data tahun 2020 dari Kementerian ESDM menyebutkan cadangan gas 62.4 TCF, minyak bumi 4.2 BBO), dan emisi karbon yang dihasilkan lebih rendah, gas bumi dapat berperan sebagai jembatan transisi energi.
“Bagaimana agar potensi gas bumi yang besar itu bisa direalisasikan, di sinilah pentingnya paradigma energi sebagai modal dasar pembangunan, bentuknya dalam insentif pengembangan lapangan maupun membangun infrastruktur gas seperti pipa regional dan terminal regasifikasi,” ujar Andang.
Contoh lainnya terjadi pada pertambangan batu bara. Singgih Widagdo menyampaikan skala sektor batu bara Indonesia sangat besar dari sisi volume. Realisasi produksi selalu melampaui target, karena ada kebutuhan devisa negara dan permintaan pasar di luar negeri. Sebesar 75 persen diekspor dengan pasar utama China dan India, sedangkan pasar domestik menyerap 25 persen untuk kebutuhan pembangkit.
Dengan rencana phasing out pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), tak hanya berdampak pada permintaan pasokan batu bara. Kebijakan transisi energi perlu memperhitungkan kondisi industri pertambangan yang telah terbangun, menyiapkan daerah yang menempatkan kepentingan pertambangan batubara untuk Pendapatan Asli Daerah, penyerapan tenaga kerja, maupun kebutuhan manufaktur dalam mendapatkan kepastian energi kelistrikan.
Tak dipungkiri peluang dan permintaan kelistrikan yang bersumber pada energi hijau sangat besar. Kemudahan dalam memperoleh suplai energi terbarukan menjadi salah satu pertimbangan utama investasi dari luar negeri dalam menentukan lokasi investasi. Hal tersebut merupakan bentuk antisipasi kemungkinan kebijakan fundamental cross-border tariff yang akan diambil oleh negara seperti China dan Uni Eropa.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi masuknya produk yang mengandung emisi tinggi ke negara tersebut. Potensi sumber terbarukan seperti panas bumi dan tenaga surya yang sangat besar, berpeluang untuk mengisi peluang dan permintaan kelistrikan tersebut.
Untuk itu diperlukan 3 kebijakan dan regulasi kelistrikan dalam hal reformasi tarif energi yang merefleksikan biaya sebenarnya. Mulai dari biaya externalitas, full fuel cost dan tingkat margin yang wajar, restrukturisasi industri kelistrikan, termasuk diantaranya restukturisasi PLN dan membuka grid service lainnya, tegas melakukan moratorium PLTU baru dan Phase-down PLTU yang tidak efisien.
Ahli panas bumi IMEF Abadi Poernomo mencontohkan regulasi penetapan harga listrik panas bumi menjadi tantangan tersendiri. Sejak tahun 2008 regulasi tentang Penetapan Harga Listrik telah tujuh kali diubah dengan bermacam bentuk skema yang berakibat berlarutlarutnya negosiasi harga dengan PT Perusahaan Listrik Negara.
Sementara ahli energi terbarukan IMEF Fabby Tumiwa mengemukakan dengan masifnya skala yang diperlukan untuk mencapai target porsi EBT dalam bauran energi nasional, partisipasi pihak non-pemerintah (non-state actor), baik itu swasta maupun masyarakat, perlu diberi ruang yang lebih besar. Pihak swasta maupun masyarakat luas memiliki sumber daya untuk mempercepat pencapaian target energi terbarukan, antara lain melalui PLTS atap.
“Jika dalam lima tahun mendatang PLN tidak dapat meningkatkan penetrasi energi terbarukan skala besar, maka untuk mencapai target RUEN dan net zero emission, pengembangan energi terbarukan harus didorong dilakukan oleh aktor-aktor non-PLN khususnya masyarakat. Dengan teknologi yang berkembang hari ini maka penerapan teknologi distributed energy resources (DERs) dimungkinkan secara teknis dan ekonomis,” ujar Fabby.
Ahli pertambangan mineral Irwandy Arif menyampaikan ada manfaat bergulir ekonomi lainnya yang akan terbuka dengan transisi energi, yaitu, meningkatnya produksi mineral strategis seperti rare earths, silica (yang dibutuhakan industry solar panel), lithium (untuk industry baterai). Jika dibandingkan, nilai mineral strategis tersebut, akan mengkompensasi penurunan potensi ekonomi dari pengurangan penggunaan batu bara.