Beranda Mineral Terhitung 1 Januari 2020, Ekspor Bijih Nikel Dilarang

Terhitung 1 Januari 2020, Ekspor Bijih Nikel Dilarang

Jakarta,TAMBANG, Pemerintah akhirnya memutuskan mempercepat larangan ekspor bijih nikel. Sejak 1 Januari 2020 tidak ada lagi ekspor bijih nikel dalam kualitas apa pun. Larangan ini akan tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM.

 

Dalam penjelasannya Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Aryono menyampaikan beberapa alasan larangan ekspor bijih nikel dipercepat. Pertama, dari sisi cadangan nikel nasional. Data Kementrian ESDM menyebutkan cadangan nikel yang bisa ditambang (mineable) hanya 600 juta sampai 700 juta ton.  Sementara cadangan terkira mencapai 2,8 miliar ton. Namun cadangan terkira tersebut masih harus ditingkatkan menjadi cadangan yang terbukti.

 

“Dengan suplai untuk pemurnian sejak 2017 sampai Juni 2019 sudah mencapai 76 juta ton sementara realisasinya sampai sekarang 38 juta. Jika dihitung dengan cadangan nasional hanya 600 juta ton maka cadangan nikel Indonesia hanya cukup untuk 7 sampai 8 tahun,”terang Bambang.

 

Pertimbangan lainnya terkait perkembangan teknologi sudah maju yang bisa mengolah nikel kadar rendah. Nikel kadar rendah ini oleh beberapa smelter akan diolah menjadi bahan baku untuk pembuatan baterai guna mempercepat penerapan mobil listrik.

 

“Meski masih dalam tahapan rencana, beberapa proyek yang diinisiasi seperti proyek Bahodopi, dan proyek milik PT Harita Prima Abadi. Ini semua smelter yang akan memproses nikel kadar rendah yang mengandung kobalt dan lithium,”lanjut Bambang.

 

Pertimbangan lainnya adalah kemajuan pembangunan smelter nikel yang cukup pesat. Saat ini ada 11 smelter nikel yang sudah dibangun, dan 25 smelter nikel yang sedang dalam proses pembangunan.  Sehingga jika ditotal bisa mencapai 36 smelter nikel.

 

Meski Bambang mengakui ada beberapa smelter yang tidak berjalan karena menggunakan teknologi blastfurnace yang sangat rentan dengan harga bahan baku khususnya kokas. Sebagian sudah dalam proses mengganti teknologi menjadi electric furnace.

 

“Dengan beberapa pertimbangan itulah Pemerintah mengambil inisiatif mempercepat larangan ekspor bijih nikel dalam berbagai kualitas. Karena sebelumnya dibawah 1,7 persen masih diijinkan untuk diekspor,”kata Bambang yang didampingi Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Minerba Yunus Saefulhak.

 

Pemerintah masih memberi kesempatan pada perusahaan yang sudah punya rekomendasi izin tetap ekspor  bijih nikel sampai 31 Desember 2019. Namun terhitung sejak 1 Januari 2020 sudah tidak ada lagi ekspor ore untuk nikel.

 

Sementara untuk perusahaan yang masih dalam tahap membangun smelter diminta untuk dilanjutkan. Pemerintah masih akan tetap melakukan evaluasi setiap enam bulan. Ini terkait dengan denda 20% bagi perusahaan yang sudah mendapat rekomendasi ekspor namun tidak membangun smelter.

 

Dirjen Minerba Bambang Gatot juga menjelaskan bahwa sampai sekarang Permen tersebut masih diproses di Kementrian Hukum dan HAM. “Nomornya juga saya belum tahu tetapi dijanjikan hari ini selesai,”tutupnya.

 

Kebijakan ini hanya berlaku untuk komoditi nikel. Sementara komoditi tambang lain seperti bauksit, tembaga dan lainnya masih berlaku aturan sebelumnya. Pengusaha tambang bauksit, tembaga dan lainnya yang sudah mendapat rekomendasi ekspor masih diperkenankan mengekspor ore sampai 1 Januari 2022.

 

Sebagaimana diketahui, pada 2017 Pemerintah membuka kran ekspor sampai 1 Januari 2022. Kebijakan ini diberikan sebagai insentif bagi perusahaan yang serius membangun smelter. Setiap enam bulan dilakukan evaluasi jika tidak memenuhi persyaratan maka rekomendasinya akan dicabut.