Beranda Tambang Today Tarif Royalti Naik, Pengusaha Nikel Minta Revisi Harga Patokan Mineral (HPM)

Tarif Royalti Naik, Pengusaha Nikel Minta Revisi Harga Patokan Mineral (HPM)

royalti nikel
Ilustrasi

Jakarta, TAMBANG – Lonjakan tarif royalti di sektor energi dan sumber daya mineral menuai protes dari pelaku usaha tambang, tak terkecuali pengusaha nikel. Sebagai solusi kompromi, mereka mendorong pemerintah untuk merevisi Harga Patokan Mineral (HPM).

“Sebagai alternatif solusi yang konkret, APNI mendorong pemerintah untuk merevisi formula Harga Patokan Mineral (HPM) bijih nikel, feronikel, dan nickel pig iron (NPI),” ungkap Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, dikutip Kamis (17/4).

Meidy menjelaskan bahwa formula penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) saat ini dinilai terlalu rendah jika dibandingkan dengan indeks harga pasar global, seperti Shanghai Metals Market (SMM). Akibatnya, dalam dua tahun terakhir, industri nikel berpotensi menanggung kerugian hingga USD 6,3 miliar.

“Saat ini, formula HPM dinilai terlalu rendah dibandingkan indeks harga pasar seperti Shanghai Metals Market (SMM), sehingga dalam dua tahun terakhir berpotensi menyebabkan kerugian nilai pasar hingga USD 6,3 miliar,” imbuh dia.

Meidy menambahkan, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengusulkan agar formula HPM diperbarui dengan memasukkan nilai keekonomian dari kandungan besi dalam bijih saprolit dan kobalt dalam bijih limonit. Selama ini, dua unsur tersebut belum dimonetisasi dalam perhitungan harga, sehingga dianggap merugikan pelaku usaha.

“Estimasi menunjukkan bahwa penyesuaian ini dapat meningkatkan HPM hingga lebih dari 100%, tergantung karakteristik bijih dan efisiensi ekstraksi,” jelasnya

Meidy merinci bahwa revisi formula HPM dapat membawa sejumlah dampak positif bagi industri dan negara. Di antaranya, peningkatan penerimaan negara tanpa perlu menaikkan tarif royalti, membaiknya margin usaha bagi perusahaan tambang yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan eksplorasi dan pengelolaan lingkungan, serta bertambahnya cadangan tambang karena penurunan cut-off grade.

Harga Nikel Global Turun, APNI Harap Pemerintah Evaluasi Ulang Aturan Tarif Royalti Baru

“Kemudian kenaikan nilai ekspor produk hilir seperti NPI dan feronikel dan Insentif pengembangan teknologi ekstraksi dan hilirisasi mineral ikutan seperti besi dan kobalt,” jelasnya.

Selain itu, APNI juga mendorong evaluasi terhadap corrective factor (CF) dalam formula HPM untuk produk feronikel yang dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Tak hanya itu, mereka juga mengusulkan penyesuaian satuan transaksi dari USD per DMT (dry metric ton) menjadi USD per ton nikel murni atau USD per nickel unit, sesuai dengan praktik pasar internasional.

“APNI tetap berkomitmen mendukung agenda hilirisasi nasional dan mendorong agar kebijakan fiskal di sektor minerba dapat diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan,” ujarnya.

Kenaikan tarif royalti di sektor mineral dan batu bara tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). PP ini mulai berlaku 15 hari setelah diundangkan, tepatnya diimplementasi pada Sabtu, 26 April 2025 .

“Diharapkan, pemerintah bersedia membuka ruang pembahasan lebih lanjut agar implementasi kebijakan PP No. 19 Tahun 2025 dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih adaptif dan kolaboratif,” pungkas Meidy. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini