Jakarta,TAMBANG – Salah satu isu yang dibahas dalam revisi UU Minerba adalah Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Aryono membenarkan hal tersebut.
“Ini juga menjadi perhatian kami, bagaimana memposisikan rakyat semakin kuat. Kami memberikan kriteria-kriteria agar rakyat lebih leluasa melakukan kegiatan pertambangan,”tandasnya dalam Diskusi Publik Revisi UU Minerba, Jakarta, Rabu (29/4).
Perubahan dalam revisi itu mencakup soal luas wilayah yang awalnya hanya 25 hektare, kemudian dalam RUU Minerba diberi kemungkinan sampai 100 hektare dan kedalaman 100 meter.
Dari sisi iuran, juga ada perubahan, mulai dari pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang diatur. Dalam RUU Minerba, ada tambahan berupa iuran pertambangan rakyat.
“Iuran pertambangan rakyat menjadi bagian dari struktur pendapatan daerah berupa pajak dan atau retribusi daerah yang penggunaannya untuk pengelolaan tambang rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,”kata Ditjen Bambang Gatot Aryono.
Ia menjelaskan, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) akan ditetapkan oleh Menteri ESDM atas usulan Pemerintah Provinsi.
“Kita harus membedakan rakyat yang mana, kalau rakyatnya mampu tidak tidak bisa masuk ke WPR. Ia akan berusaha lewat IUP yang sudah ditetapkan. Kalau sudah pakai alat berat yang banyak, modalnya besar, jangan pakai pertambangan rakyat lagi. Rakyat itu ada keterbatasan modal dan teknologi,” tegas Bambang.
Dalam penetapan WPR, lanjut Bambang, persiapannya dilakukan Pemerintah Daerah mulai dari penyiapan lahan, eksplorasi sampai studi Analisis Dampak Lingkungan.
“Karenanya kami tambahkan iuran pertambangan rakyat untuk kompensasi kegiatan Pemda dalam mengelola dan membina WPR,” tandasnya.
Dari WPR tersebut nanti akan diterbitkan beberapa IPR. Masing-masing IPR tetap diwajibkan untuk menyertakan dokumen lingkungan. Ini juga termasuk pertambangan sungai untuk mencari batu mulia atau emas. Jika penambangannya hanya menggunakan dulang mungkin pengaruhnya kecil. Tetapi kalau sampai gunakan alat berat dan sampai merusak alur sungai tentu tidak boleh.
“Pemberi izin harus teliti dan hati-hati,”tandas Bambang.
Terkait hal ini, Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menegaskan dua hal. Pertama, Pemerintah perlu memasukan aspek pemberdayaan. “Kalau bisa ada ketentuan memberdayakan rakyat. Bagaimana buat mereka punya keterampilan dan wawasan,”tandasnya.
Kedua, kebijakan ini harus benar-benar menyasar rakyat.
“Jangan sampai kedoknya adalah rakyat dan dibelakangnya itu pengusaha besar apalagi kalau ada bintang bintang besar,” tandas Hikmahanto yang juga menjadi panelis dalam diskusi online terkait revisi UU Minerba itu.
Sementara Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesa (IAGI), Sukmandaru Prihatmoko mengingatkan kembali filosofi awal dari adanya Izin Pertambangan Rakyat.
“Dikembalikan lagi ke filosofi awal dimana IPR sebagai wujud keberpihakan negara pada masyarakat setempat. Labelnya saja IPR,”katanya.
Meski demikian Ia tetap mendorong kegiatan penambangannya harus menggunakan kaidah pertambangan yang baik dan benar.
“Meski tambang rakyat harus pakai kaidah pertambangan yang baik dan benar termasuk dari sisi safety. Pelaporan yang transparan sehingga menjadi bahan inventori,” ungkap Sukmandaru.