Pertambangan dan Harry Asmar (55) ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Direktur Utama Reswara, kelompok usaha ABM Investama Group itu, lebih dari 25 tahun berkiprah di industri pertambangan. Selepas menempuh pendidikan di Jurusan Tambang Institut Teknologi Bandung (ITB), ayah dua anak ini langsung bekerja di dunia pertambangan.
Ia memulai karier dari asisten engineer hingga menduduki posisi tertinggi di perusahaan pertambangan. Ia pernah bekerja di Kaltim Prima Coal (KPC), Inco (kini Vale) sampai kini di Reswara, membuatnya jauh lebih bangga menyandang gelar sebagai profesional tambang.
Ia gelisah. Menurut sulung dari lima bersaudara ini, ada yang salah dengan pengelolaan pertambangan di Indonesia. Ia menyebutnya sebagai sesuatu yang kebablasan. Untuk memulihkannya butuh kerja ekstra, juga keberanian pemerintah.
Berikut cuplikan wawancara dengan CEO Reswara tersebut, yang sudah pernah dimuat di Majalah TAMBANG.
Mengapa Anda melihat industri tambang di Indonesia kebablasan?
Jumlah IUP yang lebih dari 10 ribu, itu sudah kebablasan. Bagaimana mengontrol IUP sebanyak itu? Kedua, kebablasan karena memberikan delegasi dan kewenangan kepada daerah (bupati/walikota) untuk mengelurkan IUP dengan alasan otonomi. Padahal, batu bara itu tidak bisa dibatasi oleh administrasi. Sebab sebarannya bisa saja dalam satu areal, lintas kabupaten, bahkan provinsi.
Ini menyebabkan IUP tidak ekonomis. Reserve dan resources batu bara yang dioperasikan menjadi berkurang, karena pengelolaan IUP yang kecil-kecil yang tidak memperhatikan sebarannya, tetapi hanya melihat batasan-batasan IUP yang kecil-kecil tersebut. Dibutuhkan kerjasama dari IUP-IUP tersebut untuk mengoptimalkan reserve. Dan itu pasti tidak jalan, karena kecil-kecil.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, spiritnya sudah benar, yakni keberlanjutan dan nilai tambah. Tapi implementasinya, menjadi tidak sama persis seperti yang diinginkan. Bahwa pengolahan itu menghasilkan satu nilai tambah, benar. Tetapi menjadi tidak sinergi, bertolak belakang karena IUP diserahkan ke kabupaten/kota. Tidak imbang, jomplang.
Memang sejak awal sudah salah urus ya?
Iya. Dan sekarang kita harus bekerja keras untuk memperbaiki. Sementara industri harus terus jalan, tidak boleh berhenti. Sekarang ini, kondisi makin diperparah dengan harga batu bara yang terus menurun drastis. Dalam kondisi seperti ini, muncul lagi rencana pemerintah menaikkan royalti batu bara untuk IUP. Ini dilakukan pemerintah untuk menutupi lobang penerimaan negara akibat subsidi minyak yang demikian besar.
Logikanya tidak pas. Harusnya, kalau memang kekurangan APBN karena subsidi minyak, ya subsidi minyak yang dikurangi. Ini kan jadi tercampur sekarang. Sekarang pilihannya, apakah subsidi minyak yang harus dikurangi atau royalti dari sisi lain yang harus dinaikkan.
Terus, kondisi pertambangan makin parah lagi, karena semua orang menganggap bahwa mengusahakan batu bara itu pasti untung, seperti mengusahakan bisnis hutan. Padahal tidak begitu. Hutan terletak di permukaan, jelas. Sementara batu bara tidak. Dan di batu bara ada banyak parameter yang harus diketahui sebelum dieksploitasi.
Apa strategi Reswara dalam menghadapi kondisi pertambangan sekarang ini?
Pertama, kami memeriksa struktur biaya. Kami harus beroperasi di biaya serendah mungkin, tanpa harus mengorbankan kepentingan jangka panjang. Kami tidak mau reserve berkurang hanya karena mengurangi biaya sekarang.
Kemudian, kami juga tidak mau mengurangi kewajiban kami ke masyarakat dan karyawan. Kedua, kami bekerjasama dengan kontraktor untuk juga melihat kondisi ini sehingga biaya bersama harus turun. Jadi kami meninjau kontrak dengan kontraktor-kontaktor.
Sudah dilakukan peninjauan kontrak itu?
Sudah dan sedang kami lakukan. Dan kami berharap masih bisa beroperasi. Kami berkeinginan masih bisa terus beroperasi sampai harga membaik. Kalau harga membaik, kami yang paling siap. Karena itu kami tidak berencana menutup operasi kami, malah terus melaksanakan proyek di Aceh dan Kalimantan.
Reswara memiliki anak perusahaan yang beroperasi di Meulaboh, Aceh Barat, PT Mifa Bersaudara. Sejak akhir Desember 2013, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, menyepakati qanun (perda) tentang royalti untuk perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh.
Terhadap perusahaan tambang, khususnya batu bara, dikenakan royalti 5-6,5% untuk serta dana jaminan sebesar 2%. Saat ini royalti 5%, kemudian ditambah dengan kewajiban qanun tersebut sebesar 7%, maka total kutipan mencapai 12%.
Reswara sudah berkomunikasi dengan pemerintah daerah juga DPR Aceh, agar diberikan keringanan. Sebab Mifa Bersaudara adalah perusahaan pertambangan yang pertama beroperasi di Aceh. Sebagai perusahaan pionir, mereka meminta dispensasi. Keinginan tersebut disambut positif oleh Pemerintah Aceh.
“Dispensasi itu soluasi jangka pendek saja, yang kami inginkan adalah kepastian hukum. Sesauai perundangan untuk mendukung kegiatan jangka panjang, kalau dispeasasi, kapan saja kan bisa diputus,” demikian disampaikan Harry Asmar.
=====================================================================================
Wawancara selengkapnya sudah pernah dimuat dalam Rubrik CEO di Majalah TAMBANG Edisi Mei 2014.