Jakarta-TAMBANG. Berhasil memanfaatkan air, angin, serta matahari sebagai sumber energi, Pulau Sumba diusung menjadi ikon energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Saat ini, total dari instalasi pembangkit listrik yang terpasang berkapasitas 5,87 Megawatt (MW). Targetnya di 2020, seluruh kebutuhan energi Sumba dipenuhi dari EBT.
Menteri ESDM, Sudirman Said mengatakan penunjukan Pulau Sumba menjadi daerah percontohan yang mampu belajar serta mengembangkan EBT untuk energi sejak 2010. Terdata, di Sumba sejauh ini sudah ada 464 unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang tersebar di empat kabupaten; enam di antaranya merupakan PLTS terpusat yang dibangun di tiga kabupaten.
Lima unit Pembangkit Litrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa berkapasitas 30 KW, delapan unit Pembangkit Listrik Mini Hindro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Angin Skala Mikro (PLTASM), serta membangunan 424 reaktor biogas yang tersebar di empat kabupaten, dan 2.200 unit tungku hemat energi. Sejak kali pertama dibangunnya pembangkit listrik berbasis EBT, pengelolaannya langsung diserahkan kepada koperasi yang dibentuk oleh warga.
Ketua Koperasi Kamanggih, Umbu Hinggu Panjanji mengatakan listrik yang dihasilkan sudah dijual ke PLN dengan harga 475 per KWh. Per tahun penjualan listrik dari PLTMH mencapai Rp50 juta, sementara dari PLTASM sekitar Rp4 jutaan, air bersih Rp12 juta, industri rumahan dan sebagainya. Jika dihitung-hitung, total aset Koperasi Kamanggih saat ini sebanyak Rp8 miliar. Hasil penjualan daya tersebut dapat dipergunakan untuk peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
“Untuk keperluan apa saja. Perawatan untuk pembangkit listrik hingga modal usaha warga seperti kue, tenun, dan lainnya,” jelasnya kepada TAMBANG.
Dorongan untuk menggunakan EBT, bagi Umbu, bukan hanya perkara peduli lingkungan tetapi juga pertimbangan ekonomi. Terlebih sejak subsidi solar dikurangi, di pulau harganya semakin mahal. Dengan adanya pembangkit listrik EBT warga jauh lebih tertolong. “Tagihan listrik dari PLTHM hanya 20 ribu per bulannya. Jauh lebih murah,” paparnya.
Selain memenuhi kebutuhan listrik, warga Sumba juga secara mandiri membuat biogas dari kotoran ternak untuk keperluan memasak. “Warga banyak yang ternak sapi dan babi, kotorannya kami manfaatkan untuk gas dan pupuk organik. Tidak bayar kalau gasnya habis, tinggal tambah satu ember kotoran hewan,” terangnya. Penggunaan gas itu telah menghemat biaya rumah tangga sebanyak Rp6 juta dalam dua tahun.
Tak berenti di situ, bahan bakar kendaraan juga menggunakan bioetanol yang berasal dari pohon lontar, singkong, atau jagung. Warga Sumba tak perlu repot lagi mencari SPBU yang lokasinya jauh dari tempat tinggal warga.
Tahun lalu, pemerintah telah menggelontorkan dana APBN sebesar Rp115 miliar untuk pembangunan PLT Biomassa kapasitas 1 MW di Sumba Barat, Program Pengembangan Hutan Energi 1 juta pohon kaliandra dengan lahan 100 hektar di Sumba Barat, Revitalisasi digester biogas 85 unit di Sumba Barat Daya, Implementasi mobil listrik di Sumba Timur, PLTMH kapasitas 23 KW di Sumba Timur, PLT Batu di Sumba Barat dan penerangan jalan umum (PJU) cerdas di Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah.
Di 2016 ini, beberapa program kembali diusung oleh Koperasi Kamanggih. Beberapa diantaranya membuat kebun pangan lokal 100 ha, 3 unit PLTMH skala kecil, pembangunan biogas sebanyak 300 unit, air bersih, pembangunan kantor, peluncuran tabungan pendidikan, perpustakaan sekolah, pengadaan mesin pembuat tepung singkong dan ubi gadung. “Sedang proses pengajukan proposal ke beberapa investor,” tutup Umbu.