Jakarta, TAMBANG – Fluktuasi harga nikel terus terjadi. Sejak setahun lalu, tercatat harga nikel mengalami kenaikan dan cenderung menurun secara bertahap. Meskipun begitu, PT Vale Indonesia Tbk (VALE) dengan sustainability, tetap optimis terhadap biaya operasi dan produksi perusahaan.
“Bagi PT Vale, di harga yang sekarang ini kami masih make profit. Kita tetap bisa cemerlang dengan operasional yang ada, efisien dan segala macam, kita tetap bisa menjalankan pengelolaan nikel secara berkelanjutan,” kata Senior Manager Communication VALE, Bayu Aji, dalam acara Buka Puasa Media, Selasa (2/4).
Saat ini, VALE mengoperasikan smelter nikel berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) di Sorowako, Sulawesi Selatan. Dalam operasionalnya, sekitar 30% dari keseluruhan biaya produksi berasal dari konsumsi energi.
VALE mengoperasikan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) untuk menyokong 94% kebutuhan energi listriknya. Bayu mengakui investasi awal dalam pembangunan PLTA membutuhkan dana jumbo. Nilainya bahkan mencapai jutaan US Dollar.
“Sustainability justru membuat kita jadi produsen nikel dengan biaya paling rendah di Indonesia. Banyak perusahaan sudah bingung dengan harga nikel yang turun begini. Kita produksi dengan biaya paling rendah karena itu PLTA tadi,” ucapnya.
VALE juga sedang membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter nikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Smelter berteknologi high pressure acid leaching (HPAL) itu ditargetkan akan rampung pada 2026 mendatang.
Untuk mendukung sustainability di smelter ini, VALE bersama partnernya Zhejiang Huayou Cobalt, sudah mendeklarasikan untuk tidak menggunakan energi batu bara. Bahkan dalam perhitungan proyek, VALE memasukkan unsur perhitungan karbon.
“Karena buat kita itu adalah bagian dari Value. Untuk sustainability, energinya harus pake yang baik,” jelas Bayu.
Sustainability di Tambang
Dalam operasional pertambangan VALE, dari 100% total biaya keseluruhan, sebanyak 53% adalah biaya aktual tambang. Sedangkan sebesar 47% merupakan biaya lain bukan penambangan.
Dari nilai 47% itu, sebesar 25% digunakan untuk biaya sebelum menambang seperti peletakan pohon, pembuatan kolam, dan sebagainya. Kemudian 22% lagi digunakan untuk menanam kembali, memperbaiki kualitas tanah, dan menyediakan air bersih.
“Kalau dilihat angkanya menjadi besar. Tapi buat kita itu adalah komitmen untuk berkelanjutan. Itu juga menjadi mitigasi resiko. Itu kalau ditanam lagi, potensi longsor dan segala macam jadi berkurang. Jadi ini komitmen kita di tambang,” tutup Bayu.
Baca Juga: VALE Utamakan Tenaga Kerja Lokal Untuk Menggarap 3 Proyek Nikel