Jakarta-TAMBANG– Subang Field yang dioperasikan PT Pertamina EP, anak usaha PT Pertamina (Persero) di sektor eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi, dijadikan rujukan bagi pengembangan potensi karbondioksida (CO2) di Blok Natuna, Kepulauan Riau. Saat ini Subang Field mengoperasikan CO2 Removal Plant yang kemudian hasilnya dikirim ke PT Samator dan anak usahnya, PT Aneka Gas Industri.
Armand Mel Hukom, Subang Field Manager, mengatakan pemanfaatan CO2 di Subang Field saat ini belum terserap banyak oleh Samator dan Aneka Gas Industri dibanding gas CO2 yang di flaring. ”Sebenarnya pemanfaatan gas CO2 ini cukup banyak. Bisa untuk kegiatan industri makanan maupun untuk industri perminyakan, yaitu EOR,” ungkap Armand dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (16/6).
Muliawan, Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), mengatakan Blok Natuna yang kandungannya CO2 mencapai 70% seharusnya bisa juga dimanfaatkan, sama seperti di Field Subang. “Selain itu isu perbatasan negara, tak luput jadi perhatian kami. Karena saat ini Blok Natuna kembali jadi pemberitaan di media,” ujar Muliawan saat berkunjung ke Subang Field, baru-baru ini.
Iwan W, General Manager Aneka Gas Industri, menjelaskan potensi industri gas CO2 di Indonesia sangat besar. Gas CO2 yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk pendingin makanan, salah satunya minuman karbonasi. Saat ini Samator menyuplai pendingin makanan yang menggunakan CO2 untuk beberapa maskapai besar di Indonesia.
Menurut dia, Indonesia kaya akan hasil laut juga bisa memanfaatkan gas CO2 untuk mendukung sektor perikanan laut nasional. Pasalnya, hingga saat ini nelayan masih banyak menggunakan es batu untuk pendinginan ikan. “Pemerintah bisa mendorong pemanfaatan pengawetan makanan mengunakan CO2 lebih besar melalui sosialisasi kepada para masyarakat, khususnya nelayan,”ungkap Iwan.
Iwan mengatakan gas CO2 yang dikirim salah satu field di Sumatera memang mempunyai hasil. Namun karena tingkat keekonomian yang dirasa tidak sebanding hasil yang didapatkan, maka untuk EOR belum digunakan. “Karena jarak yang jauh, biaya pengiriman gas jadi membengkak. Ke depan, bukan tidak mungkin akan muncul EOR yang memanfaatkan gas CO2”, tandasnya.