Bandung-TAMBANG. Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) mengumpulkan para pelaku usaha di sektor panas bumi, Asosiasi pengembangan panas bumi serta perwakilan Instansi Pemerintah. Direktorat yang fokus pada pengembangan energi baru, terbarukan ini melakukan sosialisasi terkait kebijakan terbaru di sektor panas bumi.
“Indonesia memiliki potensi panas bumi yang demikian besar namun sampai sekarang belum dikembangkan secara optimal. Oleh karenanya Pemerintah berupaya untuk mendorong pengembangan energi panas bumi sebagai pemasok energi nasional,”kata Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru,Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Yunus Saefulhak.
Yunus menjadi keynote spech menggantikan Dirjen EBTKE Rida Mulyana yang berhalangan hadir. Ia menegaskan bahwa salah satu upaya nyata dalam mendorong pengembangan panas bumi.
Dimulai dengan terbitnya UU No 21 tahun 2014 tentang Panas bumi. Dari regulasi ini kemudian diterbitkan beberapa beleid turunan. Mulai dari PP No. 28 Tahun 2016 tentang Besaran dan Tata Cara Pemberian Bonus Produksi Panas Bumi. Dan PP No 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.
Pemerintah juga telah mengeluarkan aturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM yakni Permen ESDM No. 44 Tahun 2016 tentang Bentuk dan Tata Cara Penempatan Serta Pencairan Komitmen Eksplorasi Panas Bumi. Kemudian ada Permen ESDM No.21 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Limbah Lumpur Bor dan Serbuk Bor Pada Pengeboran Panas Bumi. Juga ada Permen ESDM No. 23 Tahun 2017 tentang Rekonsiliasi, Penyetoran, dan Pelaporan Bonus Produksi Panas Bumi.
“PP No 28 Tahun 2016 mengatur tentang kewajiban Pemegang Izin Panas Bumi (IPB), pemegang kuasa, pemegang kontrak operasi bersama, dan pemegang izin pengusahaan panas bumi untuk memberikan Bonus Produksi kepada pemerintah daerah penghasil”kata Yunus dalam sambutan saat membuka workshop di Bandung (17/4).
Bagi pemegang IPB yang sudah berproduksi sebelum UU No 21 Tahun 2014 maka bonus produksi diberikan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2015. Sementara yang telah berproduksi pada saat UU No. 21 Tahun 2014, bonus produksi diberikan terhitung sejak unit pertama berproduksi secara komersial.
Sementara terkait besaran bonus, Permen ini menetapkan angka 1% (satu persen) dari pendapatan kotor penjualan uap panas bumi atau dikenakan 0,5% (nol koma lima persen) dari pendapatan kotor penjualan listrik.
Sedangkan PP No. 7 Tahun 2017 mengatur pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung dalam menghasilkan listrik. “Di PP ini diatur mulai dari wilayah kerja, penawaran wilayah kerja, kegiatan pengusahaan panas bumi, hak dan kewajiban pemegang IPB, usaha penunjang panas bumi, dan harga energi panas bumi.”terang Yunus.
Kemudian ada juga aturan pelaksana yakni Permen ESDM No.44 Tahun 2016 yang mengatur tentang mekanisme penempatan dan pencairan komitmen eksplorasi dimana komitmen eksplorasi. Ini merupakan kewajiban pemenang lelang yang harus dipenuhi sebelum terbit Izin Panas Bumi (IPB).
“Pemerintah ingin mendapat jaminan bahwa perusahaan serius melakukan kegiatan pengeboran eksplorasi. Uang tersebut bukan milik Pemerintah tetapi akan disimpan di rekening bersama yang bisa dicairkan sesuai dengan kemajuan kegiatan eksplorasi yang dilakukan” terang Yunus.
Besaran komitmen eksplorasi disesuaikan dengan dokumen penawaran pada saat lelang dengan ketentuan paling sedikit US$ 10.000.000 untuk pengembangan kapastitas PLTP lebih dari atau sama dengan 10 MW, atau US$ 5.000.000 untuk kapasitas PLTP kurang dari 10 MW.
Komitmen Eksplorasi ini akan ditempatkan dalam bentuk Rekening Bersama di Bank BUMN. Mekanisme pembukaan rekening bersama mengikuti Peraturan Menteri Keuangan No 252/PMK.05/2014 tentang Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.
Sementara untuk pencairannya, mekanisme pencairan dibedakan menjadi 3 (tiga) kondisi yang disesuaikan dengan rencana kegiatan eksplorasi mulai dari pengeboran standard hole, pengeboran slim hole kemudian standard hole dan dengan pengeboran slim hole.
Dalam pelaksanaan eksplorasi, jika pemegang IPB dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak terbitnya IPB tidak melakukan pengeboran paling sedikit 1 (satu) sumur eksplorasi, maka akan dikenai sanksi pemotongan 5% dari keseluruhan komitmen eksplorasi.
“Jadi uangnya tidak hilang. Hanya jika selama lima tahun tidak melakukan pengeboran paling sedikit 1 sumur makan akan dikenakan sanksi pemotongan 5%. Tetapi masa dalam lima tahun tidak melakukan satu kegiatan pun,”ujarnya.
Regulasi lain yang juga disosialisasikan adalah Peraturan Menteri ESDM No.21 tahun 2017. Regulasi ini mengatur tentang pengelolaan limbah lumpur bor dan serbuk bor yang dimulai dari terbentuknya timbulan, pengangkutan, penampungan sementara, pemanfaatan dan/atau penimbunan. Terkait hal ini ada yang menggembirakan karena lumpur bor dan serbuk bor sudah tidak masuk dalam kategori limah B3.
Namun demikian dalam pengelolaanya harus menggunakan bahan dasar dan bahan aditif yang ramah lingkungan. Pengelolaan limbah lumpur bor dan serbuk bor yang sesuai akan mencegah, menanggulangi, dan memulihkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
Kegiatan pengelolaan limbah lumpur bor dan serbuk bor diakhiri dengan penataan, pemulihan, dan perbaikan kualitas lingkungan dan ekosistem sesuai peruntukannya.
Sebagai pertanggungjawaban, Badan Usaha berkewajiban menyampaikan rencana pengelolaan limbah lumpur bor dan serbuk bor kepada Dirjen EBTKE sebelum melakukan pengeboran.
Bonus Produksi Untuk Daerah Penghasil
Pemerintah juga telah merilis regulasi tentang mekanisme rekonsiliasi, mekanisme penyetoran dan pelaporan bonus produksi panas bumi lewat Permen ESDM No. 23 Tahun 2017. Ini merupakan amanat dari PP No 28 Tahun 2016 sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah penghasil panas bumi.
Disana ditentukan bahwa penetapan bonus produksi didahului dengan rekonsiliasi untuk menghitung persentase Daerah Penghasil berdasarkan parameter dan bobot penilaian. Kemudian, akan ditetapkan surat Keputusan mengenai penetapan besaran bonus produksi. Selanjutnya Pengusaha Panas Bumi menyetorkan bonus produksi yang telah ditetapkan kepada rekening kas umum daerah penghasil.
Setelah dilakukan penyetoran pengusaha panas bumi melaporkan bukti setor bonus produksi kepada Kementerian ESDM dan Bupati/ Walikota Daerah Penghasil. Bila amanat ini tidak dilaksanakan maka pengusaha panas bumi akan terkena sanksi.
Dengan terbitnya Permen ESDM ini Pemerintah Daerah Penghasil akan mendapatkan manfaat langsung berupa adanya pemasukan ke Kas Daerah dari beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dengan ini diharapkan pemerintah daerah dapat bersama pengusaha panas bumi menjaga kelangsungan produksi panas bumi sehingga terciptanya hubungan saling menguntungkan antara Pengusaha dan Pemerintah Daerah penghasil.
Yunus juga menegaskan bahwa PP dan Permen ESDM ini menjadi salah satu upaya Pemerintah untuk memberikan kejelasan bagi seluruh stakeholder dan shareholder dalam melaksanakan pengembangan pemanfaatan panas bumi yang lebih optimal, efficient, dan affordable untuk mencapai tujuan utama pengembangan energi yaitu kesejahteraan masyarakat.