Jakarta-TAMBANG- PT Pertamina (Persero) mengharapkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. lebih terbuka dan transparan dalam penetapan harga gas untuk konsumen di Sumatera Utara. VP Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan untuk wilayah Sumatera Utara, Pertamina melalui anak-anak perusahaannya telah menjadi anchor pasokan gas yang sangat dibutuhkan oleh industri.
Menurutnya, terdapat dua sumber pasokan gas dari Pertamina dan anak perusahaan, yaitu sekitar 4 mmscfd bersumber dari lapangan Pangkalan Susu yang berasal dari Pertamina EP. PGN juga memperoleh pasokan dari Pertamina yang bersumber dari LNG Donggi Senoro sekitar 4 mmscfd.
Harga gas eks regasifikasi Arun yang dikelola oleh PT Perta Arun Gas (regasifikasi), PT Pertagas (transportasi), dan PT Pertagas Niaga (niaga), sampai di PGN harganya US$13,8 mmbtu. Sebesar 85% dari komponen harga tersebut ditetapkan pemerintah, termasuk toll fee sebesar US$2,58 plus Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan biaya regasifikasi US$1,58 plus PPN. Namun, harga gas pipa dari Pangkalan Susu yang juga ditetapkan pemerintah adalah sebesar US$8,31 per mmbtu.
“Dengan komposisi tersebut, seharusnya badan usaha niaga dalam hal ini PGN dapat melakukan blending price berdasarkan rata-rata tertimbang harga dan volume pasokan. Ini tidak disampaikan secara terbuka kepada masyarakat sehingga terjadi persepsi keliru seakan-akan gas hanya bersumber dari LNG dan menyudutkan Pertamina dan anak perusahaan yang justru telah melakukan upaya optimalisasi pasokan gas dengan harga kompetitif kepada industri melalui PGN,” kata Wianda.
Dia menuturkan untuk mengetahui harga beli PGN dari Pertamina harus mengkombinasikan antara harga dan volume dari dua sumber tersebut, sehingga tidak bisa mengacu pada satu harga yang lebih tinggi. Blended priceharga beli gas PGN yang diperoleh dari Pertamina dan anak perusahaannya masih dibawah US$11 per mmbtu.
“Kami mengharapkan agar dalam penyampaian informasi terkait harga ini PGN dapat lebih bijak sehingga tidak memunculkan friksi yang tidak perlu yang tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk melakukan sinergi strategis antara PGN dan Pertagas. Keterbukaan juga dapat menghindari kerugian dari sisi konsumen karena tidak memperoleh harga yang lebih kompetitif,” tegas Wianda.
Direktur Utama Pertamina Dwi Sutjipto kemarin mengatakan sedang mencari solusi untuk menekan harga jual gas bumi bersama dua kementerian terkait yakni Kementerian BUMN dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). “Nanti akan dilakukan buka-bukaan,” tegas Direktur Utama Pertamina Dwi Sutjipto, disela-sela kunjungan ke kilang Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), Tuban, Jawa Timur, Rabu (11/11).
Menurut Dwi, harga gas sangat ditentukan oleh berbagai faktor, di antaranya biaya infrastruktur. Dalam pembahasan tersebut, akan dikaji kembali nilai internal rate return (IRR) yang wajar dan tepat sehingga tidak membebani proses pembangunan infrastruktur gas.
Sebelumnya, PGN menyatakan alasan mahalnya hara gas industri di Medan, Sumatera Utara akibat tingginya harga gas yang dipasok Pertamina . Kepala Divisi Komunikasi Korporat PGN, Irwan Andri Atmanto, mengungkapkan harga beli gas PGN yang dialirkan dari kilang regasifikasi Arun, Aceh, yang merupakan milik Pertamina,sebesar US$13,8 per mmbtu. PGN pun menjualnya ke industri di Medan sebesar US$14 per mmbtu. “PGN hanya mengambil biaya operasional dan biaya perawatan pipa yang mencapai 700 kilometer sebesar US$0,2 per mmbtu,” kata Irwan di Jakarta, Selasa (10/11).
Persoalan formulasi harga gas dan pembangunan infrastrukturnya di dalam negeri menjadi telah menjadi bahasan penting dalam Sarasehan Stakeholder Gas Bumi Nasional 2015 di Bali, pekan lalu. Pertagas mengusulkan penyesuaian harga gas bumi melalui konsep hub dan zona meskipun dasar penetapan harga gas sudah tercantum dalam Permen ESDM No. 37/2015 tentang Ketentuandan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi sebagai revisi atas Permen ESDM No. 03/2010.
Sementara PGN mengusulkan dan memberikan ilustrasi konsep agregasi harga gas bumi berdasarkan enam zona infrastruktur yang merupakan skema agregasi antara biaya pembelian gas dan biaya infrastruktur.
Lewat pembahasan yang panjang, dalam saresehan tersebut antara lain disimpulkan bahwa formulasi harga gas ditetapkan secara terintegrasi dari hulu sampai konsumen akhir dengan mempertimbangkan keekonomian lapangan (hulu) dan midstream dan downstream; dan adanya pengaturan margin dan IRR untuk badan usaha hulu dan hilir.
Sebagai tindak lanjut, disepakati akan dibentuk tim yang terdiri dari unsur pemerintah dan pemangku kepentingan yang akan merumuskan formula penurunan harga gas bumi dari hulu sampai hilir dengan tenggat waktu penyelesaian akhir November 2015.