Jakarta, TAMBANG – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bahwa skema Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau royalti dari penjualan batu bara yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 2022, tidak akan merugikan badan usaha.
Hal ini disampaikan Direktur Pembinaan Pengusahan Batubara Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, Lana Saria saat sosialisasi PP tersebut secara virtual, Senin (18/4).
“Pada saat harga tinggi tentunya pemerintah juga dapat merasakan penerimaan negara yang meningkat. Tapi pada saat batu bara berada di harga yang sangat rendah, pemerintah tidak ingin membebani perusahaan terhadap kewajiban finansialnya atau memastikan kondusifnya situasi berusaha,” ungkap Lana.
Pajak penghasilan ini, kata Lana, akan dikenakan pada seluruh pemegang izin, mulai dari IUP, IUPK (Peralihan WPN-wilayah pencadangan negara), IUPK sebagai kelanjutan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan PKP2B itu sendiri.
Menurutnya, pengenaan royalti tersebut meliputi subjek, objek dan perhitungan pajak penghasilan. Kemudian penyusutan dan amortisasi, sumbangan dan atau biaya di bidang usaha pertambangan, perbandingan utang dan modal serta pemenuhan kewajiban pemotongan dan atau pemungutan.
“Kewajiban perpajakan dan PNBP bagi IUP dan IUPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yaitu yang saat ini masih berjalan, PP 81 tahun 2019. Di mana dengan perbedaan kalori, akan dibedakan pajak masing-masing 3 persen, 5 persen dan 7 persen. Kemudian PKP2b sesuai dengan kontrak yang ada di pkp2b yaitu 13,5 persen sampai berakhirnya jangka waktu PKP2B,” ungkapnya.
Namun menurut Lana, di PP ini ada pengaturan baru untuk badan usaha pemegang IUPK sebagai kelanjutan PKP2B. Aturan tersebut adalah pengenaan tarif royalti berjenjang sesuai dengan Harga Acuan Batu Bara (HBA).
“Baru kemudian pengaturan baru yang ada kewajiban perpajakan dan pnbp bagi pemegang iupk sebagai perpanjangan kelanjutan PKP2B, maka kewajiban PNBP produksi ini akan dilakukan dengan tarif berjenjang sesuai dengan HBA di mana kita buat dengan lima jenjang,” bebernya.
Dalam PP ini, kata Lana, IUPK dari PKP2B generasi I, PNBP produksinya berkisar 14 persen-28 persen sesuai HBA. Sementara, IUPK dari PKP2B generasi I plus, tarif PNBP produksi berkisar 20 persen-27 persen sesuai HBA.
Lana kemudian menjelaskan, IUPK yang diterbitkan sebelum tahun diundangkan PP ini, maka badan usaha bersangkutan wajib melaksanakan ketentuan PP tersebut sejak 1 Januari 2022. Sementara, IUPK yang diterbitkan bersamaan dengan tahun diundangkan PP ini, maka pelaksanaan ketentuan PP akan berlaku pada tahun berikutnya atau 1 Januari 2023.