Jakarta-TAMBANG. Kontraktor Kontrak Kerjasama Migas (KKKS) harus bertanggungjawab terhadap kegiatan kontrak yang ditandatanganinya dengan pihak ketiga atau mitra dalam kegiatan usaha hulu migas. Namun, tanggungjawab utama tetap pada lembaga yang melakukan pengawasan di sektor ini, yaitu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) karena semua kegiatan yang dilakukan KKKS, melalui persetujuan SKK Migas.“Sebagai pihak yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan di sektor migas, SKK Migas harus ikut bertanggungjawab,” kata Dr Mudzakkir, pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Mudzakir mengatakan terhadap kontrak yang sudah ditandatangani oleh KKKS dan mitra, jika terjadi pelanggaran atau penyelewengan bisa diselesaikan berdasarkan kontrak yang dibuat. Kontrak bisa dibatalkan jika kesalahan yang dilakukan sudah masuk kategori fatal. “Kategori fatal itu, kalau sudah merugikan negara. Penyelesaiannya bisa perdata, bisa juga pidana kalau sudah fatal,” ungkapnya lagi.
Terhadap penyelewengan yang bersifat fatal, badan pengawas seperti SKK Migas, memiliki tanggungjawab besar karena terkait kerugian negara. Apalagi kalau pembiaran terhadap kerugian negara dilakukan secara sengaja. “Semua pihak yang membiarkan penyelewengan yang mnyebabkan kerugian negara harus bertanggungjawab. Tetapi tanggungjawab utama tetap pada SKK Migas,” katanya.
Yusri Usman, pengamat kebijakan migas, mengatakan KKKS dan mitranya memiliki tanggungjawab terhadap perjanjian yang sudah mereka buat. Namun, sebagai pihak yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu migas, SKK Migas juga turut bertanggungjawab. “Seandaianya dia (SKK Migas) lalai dalam melakukan pengawasan sehingga terjadai kesalahan yang menimbulkan kerugian,” ungkapnya.
Firlie H Ganinduto, Wakil Ketua Komite Tetap Hulu Migas Kamar Dagang dan Industri (Kadin), mengatakan SKK Migas harus ikut bertanggungjawab karena final approval ada pada badan tersebut, meski usulan dilakukan oleh pemegang kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) atau KKKS ataupun penjual hasil migas. Menurut Firlie, saat ini ada kerancuan terhadap perananan lemaga-lembaga yang mengatur tata kelola migas di Indonesia. SKK Migas misalnya, sebagai lembaga yang melakukan tandatangan kontrak, namun lembaga ini tidak memiliki aset dan tidak bisa melakukan penjualan minyak dan gas bumi.
“Ini (SKK Migas) tidak jauh dengan BP Migas yang dibubarkan berdasarkan amar putusan MK, hanya berganti baju dan logo saja,” katanya. Hal yang sama juga terjadi pada Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM. Lembaga ini mengeluarkan izin dan penetapan wilayah kerja migas, tapi Dirjen Migas tidak melakukan pengawasan terhadap kegiatan hulu migas. Karena itu, fungsi pengawasan menjadi tanggungjawab SKK Migas.
“Logika birokrasi penentu kebijakan yang salah ini juga turut memberi andil bagi carut marutnya tata kelola migas dan memberi ruang bagi mafia untuk memanfaatkannya,” ujar Firlie yang juga Direktur Utama PT Duta Firza. Untuk mengatasi kerancuan dalam tata kelola migas, Firlie mengusulkan agar dibentuk Badan Otoritas Migas (BO Migas). Badan inilah yang bertanggungjawab penuh terhadap kegiatan migas, termasuk penjualan migas milik negara. Beberapa tugas BO Migas diantaranya evaluasi, persiapan atau lelang wilayah kerja pertambangan (WKP), serta pengawasan dan perpanjangan WKP serta dapat mengoperasikan WKP yang dikembalikan sebagai asset BO Migas.
Selain itu badan ini melakukan penandatanganan dengan KKKS dan perusahaan-perusahaan lainnya untuk mewakili negara atau pemerintah dan menjalankan tugas-tugas yang menjadi hak negara. Tugas lainnya adalah bertanggung jawab atas tersedianya stok BBM, GAS, serta Bahan Bakar lainnya (LPG, CNG dan LNG) untuk kebutuhan nasional serta ikut bertanggungjawab terhadap peningkatan kapasitas nasional dalam industri penunjang migas, dalam kebijakan local content yang tetap mengedepankan aturan maupun implementasinya.
Seperti diketahui persoalan jual beli gas belakangan ini kembali menjadi perbincangan setelah penangkapan Anggota DPRD dan juga mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus penangkapan Fuad Amin tersebut terkait penjualan gas dari lapangan Poleng, Bangkalan, Madura. Sesuai ketentuan Undang-Undang Migas nomor 22 Tahun 2001, penetapan alokasi gas dan perjanjian jual beli gas di kepala sumur, masuk ranah hulu migas yang menjadi kewenangan Kementerian ESDM dengan pertimbangan Badan Pelaksana (SKK Migas).
Hanya saja, selama ini, pengaturan tentang siapa yang berhak mendapatkan alokasi gas pada titik kepala sumur, tidak ada kejelasan. Selain menangkap tangan Fuad Amin Imron, KPK juga memeriksa sejumlah saksi untuk mengusut kasus korupsi berupa suap jual-beli gas alam Bangkalan. Pada Senin (12/1), KPK memanggil saksi Rudi Satwiko, Vice President Management Representative BP Indonesia SKK Migas yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Analisis dan Evaluasi Pasar Minyak dan Gas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Selain memeriksa saksi Rudi, penyidik KPK juga memanggil Moch Soetikno (Diektur Utama PD Sumber Daya), Mariatul Kiptiyah (Bendahara PD Sumber Daya), Budi Indianto (swasta), Andi Adhiani Rinsi, (karyawan swasta), dan Peni Utami (Direktur Keuangan PT Media Karya Sentosa; MKS). Mereka diperiksa sebagai saksi tersangka Antonio Bambang Djatmiko, Direktur PT MKS yang diduga menyuap tersangka Fuad Amin Imron, Ketua DPRD Bangkalan. Kasus korupsi atas penerimaan suap ini terkuak setelah KPK melakukan rangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 1 Desember 2014 yang dimulai dari Jakarta hingga Bangkalan.
KPK kemudian menetapkan Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Imron, Ajudan Fuad yang bernama Rauf, serta Direktur PT Media Karya Sentosa Antonio Bambang Djatmiko sebagai tersangka dalam perkara ini. Fuad dan Rauf diduga sebagai pihak penerima suap, sedangkan Antonio diduga sebagai pihak pemberi suap serta seorang oknum anggota TNI AL bernama Darmono, yang kemudian diserahkan ke kesatuannya untuk diproses. Mereka yang diduga merupakan sebagai pihak penerima, disangka melanggar Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan Antonio Bambang Djatmiko yang diduga sebagai pemberi suap dikenai Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b serta Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.