Oleh Vicharius DJ
[email protected]
PT Semen Indonesia Tbk ingin memperluas pabriknya ke Kabupaten Rembang. Di sanalah terdapat batuan gamping berkualitas yang bisa jadi sumber uang baru. Kelestarian air tanah jadi taruhannya. Muncul penolakan dari masyarakat.
Tak pernah tersirat dalam pikiran Sukinah ketika harus melewati bulan puasa tahun ini di tenda-tenda darurat. Perempuan paruh baya yang sehari-hari tinggal di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang itu menjadi salah satu dari sekian banyak warga di Desa Tegaldowo dan Timbrangan yang memutuskan untuk mendirikan tenda di luar lokasi pendirian pabrik PT Semen Indonesia.
Aksi itu sebagai bentuk protes dan penolakan mereka akan kehadiran PT Semen Indonesia. Hari itu, 15 Juli 2014 genap satu bulan sudah Sukinah dan warga lainnya menggelar aksi protes. Seakan tak peduli dengan aparat keamanan yang berjaga dan kendaraan berat yang hilir mudik di sekitar tenda, Sukinah tampak sibuk menyiapkan menu berbuka puasa bersama warga.
“Perlawanan kami hingga titik darah penghabisan. Kami akan terus melawan hingga tuntutan kami dipenuhi. Pabrik Semen Indonesia harus angkat kaki dari Rembang,” kata Sukinah bersemangat.
Sukinah dan teman-temannya khawatir, pertambangan dan aktivitas pabrik semen akan mengubah pola hidup masyarakat. Sumber mata air yang selama ini menghidupi desa mereka terancam rusak.
Konflik sosial pun tak bisa dihindari. Beberapa kali warga terlibat bentrok fisik dengan aparat keamanan. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyadari benar risiko yang terjadi bila konflik tak juga diredam.
Di awal Agustus, setelah lewat perayaan Idul Fitri, Ganjar mempersilakan warga yang menolak pabrik semen menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia bilang, jika memang PT Semen Indonesia melanggar aturan, tentu pengadilan bisa mencabut izin usaha yang dikeluarkan pada era Gubernur Bibit Waluyo tersebut.
Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia, Agung Wiharto mengatakan, pihaknya siap menghadapi gugatan warga. Agung menyadari bahwa kedatangan PT Semen Indonesia tidak akan bisa langsung diterima oleh seluruh warga. Pada kasus-kasus sebelumnya yang terjadi pun demikian, meski akhirnya bisa diselesaikan.
“Sebagian besar warga mendukung kami. Kalau ada yang mau menggugat silakan saja. Kami siap karena akan membuka ruang komunikasi yang lebih terbuka,” kata Agung kepada Majalah TAMBANG.
Selengkapnya, silakan lihat di Majalah TAMBANG edisi September 2014.